Selasa, 28 Maret 2017

Bukan Motivasi

Melihat anaknya yang selalu terlihat murung, Sang ibu pun bertanya kepada anaknya.
“Nak, mengapa belakangan ini kamu sering terlihat murung?” sapa Sang ibu.
“Jangan terus terpuruk seperti itu jika punya masalah, bangkitlah!” Sang ibu memotivasi.
Mendengar ucapan Sang ibu, Sang anak terdiam. Tak lama, ia pun menjawab dengan suara yang pelan,
“Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.”
Mendengar ucapan Sang anak, Sang ibu tak mau menyerah. Ia pun terus berusaha memotivasi anaknya.
            “Kamu pasti bisa bangkit Nak. Jangan terus larut dan tenggelam dalam masalahmu sendiri”
“Setiap orang pasti punya masalah, dan kamu pasti mampu mengarunginya.”
Sang anak malah menundukkan pandangannya, tak sedikit pun ia menatap wajah ibunya yang tersenyum penuh semangat. Lalu berkata,
            “Aku tenggelam dalam lautan luka dalam.”
Sang ibu pun mulai memahami kondisi anaknya yang sedang putus asa. Tetapi ia tetap berharap Sang anak mau bangkit dari masalah yang dihadapinya. Seraya mengusap pundak anaknya, Sang ibu berkata dengan penuh kelembutan.
            “Sedalam apapun masalahmu Nak, pasti ada jalan keluarnya.”
            “Sampaikanlah kepada Ibu, mungkin ibu bisa membantu.”
Sang anak hanya terus tertunduk tanpa senyuman. Ia tertekur dengan mata penuh kesenduan. Hanya sedikit kalimat yang keluar dari mulutnya.
            “Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang,” ujar Sang anak seraya menggelengkan kepalanya dengan pelan.
Setelah berbagai upaya motivasi yang diberikannya, Sang ibu pun mulai terbawa suasana. Satu keinginan dalam hatinya, anaknya harus bangkit dan menghadapi masalah. Tetapi, mengapa anaknya tak mau juga mengerti. Dengan nada sedikit memelas, ia kembali mengingatkan anaknya.
            “Nak, hidup ini penuh rintangan. Jika kamu gampangan seperti ini, bagaimana nanti?”
            “Ibu masih di sini bersamamu, bagaimana jika kelak ibu meninggalkanmu untuk selamanya?”
Mendengar pertanyaan Sang ibu yang begitu emosional, Sang anak hanya tertegun. Ia pun mengangkat kepalanya dengan pelan. Ia tatap mata Ibunya, lalu berkata,
            “Aku tanpamu, butiran debu,” hanya kalimat pendek itulah yang keluar dari mulutnya.
Kisah fiktif ini awalnya saya baca dari sebuah buku. Terus terang, saya lupa lagi judul dan penulis bukunya, namun semoga kisah inspiratifnya menjadi amal jariyah untuk beliau. Sengaja saya menceritakan kembali kisah ini untuk dapat diambil pelajaran.
Sejuta motivasi takkan bermakna. Jika tak ada sedikit pun keinginan yang muncul dari diri kita sendiri. Sebagaimana manusia dewasa yang tenggelam di kolam sedalam 50 cm. Hanya akan terjadi jika ia hanya berbaring pasrah, serta tak sedikit pun berusaha untuk bangkit. Ketika mulai kehabisan nafas, ia pun hanya diam. Ketika air mulai masuk ke pernafasan dan paru-paru, ia pun hanya terdiam. Tak ada keinginan untuk bangkit dan berdiri. Kolam dangkal menjadi mematikan, masalah sepele pun menjadi menakutkan.
Bagi yang tak mau bergerak dan bangkit. Semua masalah di benaknya menjadi besar. Semua mimpi dan keinginan seolah menjadi mustahil. Padahal sejuta motivasi ditujukan kepadanya, ia tetap tak mau bangkit dan bergerak. Padahal, berjuta kemudahan di balik satu kesulitan sudah merupakan sunnatullah. Allah Swt berfirman, yang artinya:
“Maka sesungguhnya bersama (satu) kesulitan itu terdapat (banyak) kemudahan. Sesungguhnya sesudah (satu) kesulitan itu terdapat (banyak) kemudahan.” (TQS Al Insyirah[94] : 5-6)
Saya sengaja menambahkan kata berkurung. Penggunaan al ‘usr (memakai alif lam/ bentuk ma’rifat) dengan yusr (tanpa alif lam/bentuk nakirah) dalam ayat tersebut mengandung makna kuantitas yang berbeda.
Tak sedikit dari kita terjebak kalimat blunder yang hanya berujung pada satu kata, yakni motivasi. “Sejuta motivasi tak berarti jika tanpa aksi. Sejuta aksi tak bernilai jika tak islami. Amal islami mudah layu jika tak istiqomah. Keistiqomahan pun mudah patah jika tanpa pengorbanan. Namun, semangat pengorbanan kadang harus terpancing oleh motivasi yang mengena diri.”  Ujung-ujungnya, motivasi lagi.
Memang benar, tak ada aktifitas/perbuatan tanpa dorongan dan motivasi. Tetapi tidaklah tepat jika kita selalu mengharapkan motivasi luar yang akan menggerakkan diri kita. Diri kita bergerak karena motivasi kita. Jika kita diam, sejuta motivasi pun tak berarti. Sebagaimana yang termaktub dalam kitab mulia, “Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah apa yang ada di dalam diri mereka.” (TQS. Ar Ra’du[13]: 11).

Semua ikhtiar merupakan pilihan kita. Akan tetapi ada beberapa hal yang tak bisa kita lupakan sebagai manusia. Sifat pelupa selalu melekat pada manusia, karena itulah kita mesti saling mengingatkan untuk selalu pada track yang benar. Jika kita menyukai aktifitas menulis, maka bergaullah dengan para penulis. Jika kita ingin menjaga keshalihan diri, bergaullah dengan orang-orang shalih. Selanjutnya, sunatullah selalu melekat. Manusia berlari karena ia belajar berjalan. Manusia berjalan karena ia belajar berdiri. Begitulah sunnatullah, untuk menjadi ahli dan pakar, kita harus menjadi pembelajar. Semoga bermanfaat. (Ary H. – Siswa Akademi Menulis Kreatif, 18 Muharram 1438 H)

Rabu, 22 Maret 2017

4 Jam Pasti Nerbitin Buku

🎬WORKSHOP 4 JAM BISA NERBITIN BUKU (4J BNB)🎬

AKADEMI MENULIS KREATIF
BATCH#4

MIMPI SEORANG PENULIS

Mimpi seorang penulis atau calon penulis adalah menerbitkan karyanya. Tidak ada yang lain. Ibarat kuliah, saat buku diterbitkan itu rasanya seperti diwisuda.
Masalahnya, banyak factor yang membuat calon menulis memilih mundur dari cita-citanya. Bisa karena ditolak oleh penerbit besar atau tidak ada jawaban dari penerbit.

MIMPI ITU DIWUJUDKAN

Untuk alasan itulah Akademi Menulis Kreatif membuka Workshop 4JBNB Batch#4.

Ternyata, berdasar pengalaman mengisi workshop menulis online atau offline di beberapa kota, seseorang yang tidak punya latar belakang penulis atau ilmu menulis pun bisa menyelesaikan draf bukunya

INOVASI

Biasanya workshop menulis online lewat WhatsApp ini dulunya memakan waktu 30 hari, namun mulai sekarang saya samakan dengan workshop menulis offline, jadi cukup 4 jam saja pasti bisa menuntaskan draf buku.

MENGAPA HARUS IKUT WORKSHOP INI

Workshop 4JBNB disusun secara praktis dan sistematis, sehingga maksimal 4 Jam saja setiap peserta bisa menyelesaikan 1 draf bukunya.

Tugasnya cukup ringan
Bahkan anak selevel SMP (MTS) asal sudah bisa tulis menulis bisa ikut

SIAPA YANG BISA MENGIKUTI WORKSHOPNYA

✅Siswa
✅Mahasiswa
✅Karyawan
✅Ibu Rumah Tangga
Dll.

MATERI PEMBUKA

- Mindamapping
- Fast Writing
- 5 W1H
- AMBAK

MATERI WORKSHOP DAN TUGAS

- Clutch
- Branding
- Marketing
- Menulis Ungkapan Hati
- Kisah atau Kenangan
- Modifikasi Kisah dalam cerpen
- Editing

APA YANG DISIAPKAN

- Buku tulis dan pena
- Laptop/netbook/PC jika ada

APA YANG DIDAPATKAN

- Buku cetaknya (1 eksemplar)
- Free ebook Revolusi Menulis dan Apu Indragiry’s 101 Creative Writing Notes (Jika sudah punya diganti The Power of Writing Habit & 168 Jam Jadi Penulis versi komplet).
- Buku diterbitkan oleh Garasi Publika
- Buku cetak sekwalitas cetakan Gramedia atau Mizan
- Buku dijual di toko online Hatimedia.com

TEMPAT

Grup Whatsapp 4JBNB

WAKTU PELAKSANAAN
Minggu16 April 2017
Jam: 08.00 – 17.30 Wib

BERAPA INVESTASINYA

Investasi mengikuti workshop menulis 4JBNB:

✅Rp. 650.000 (early bird/daftar awal) Cuma berlaku saat mendaftar dari tanggal 21-25 Maret 2017

✅Rp. 950.000 (normal) jika mendaftar dari tanggal 25 Maret-15 April 2017

*Jika bisa membawa minimal 3 peserta lain untuk ikut workshop ini, biaya workshop HANYA Rp. 500.000

TERBATAS

Workshop ini cuma menyediakan 35 kursi, jadi manfaatkan dan daftarkan diri Anda dengan segera. Sudah ada 18 peserta yang indent (meski belum fix/bisa berubah).

CARA MENDAFTAR

Sila ketik: 50_daftar_workshop4_4jbnb_nama_asalkota

Kirim ke whatsapp/call:

0896-5813-5002

Minggu, 25 Desember 2016

Peran Keluarga Dalam Pendidikan Anak, Cukupkah?

Kenakalan remaja di era ini memang tidak bisa dipungkiri lagi maraknya. Seolah, jika kita mendengar kata remaja, yang terbayang di benak kita adalah kenakalan-kenakalannya. Mulai dari seks bebas, aborsi, menonton film porno hingga narkoba dan lain sebagainya.

Fenomena gunung es ini menjadi bukti bobroknya moral para remaja kita dewasa ini. Hal ini diperparah dengan rusaknya tatanan sosial di tengah-tengah masyarakat yang ditandai dengan lumrahnya permasalahan semacam ini serta acuhnya masyarakat terhadap berbagai kerusakan yang menari bebas di tengah-tengah kehidupan generasi.

Melihat permasalahan moral anak bangsa yang notabenenya mereka adalah pemimpin di masa depan, rasanya memang sangat miris. Terus meningkatnya presentase kerusakan yang terjadi pada anak bangsa ini bagaikan bola salju yang terus-menerus menggelinding, yang menjadikannya semakin membesar dari waktu ke waktu.

Faktor Penyebab
Banyak faktor penyebab yang membuat problematika seperti di atas kerap kali terulang secara berkesinambungan. Di antaranya adalah, pertama, tidak adanya ketaqwaan individu yang ditanamkan pada anak. Kedua, lemahnya peran keluarga dalam mendidik anak. Ketiga, rusaknya tatanan sosial di masyarakat, dan keempat, hilangnya fungsi negara sebagai perisai bagi rakyat serta sebagai tiang utama dalam menopang ketahanan keluarga.

Setiap anak yang dilahirkan di dunia ini tentu sesuai dengan fitrahnya, yakni berada dalam keadaan yang suci bersih tanpa noda. Ketika lahir, anak belum mempunyai informasi apapun tentang kehidupan dunia. Anak diibaratkan bagai kertas putih tanpa goresan pena. Keluarga/orang tualah yang akan mengarahkan sang anak apakah berjalan sesuai dengan fitrahnya atau keluar dari batasan fitrah.

Untuk itu, keluarga (terutama orang tua) adalah peletak dasar pendidikan bagi anak. Di dalam keluargalah anak memulai kehidupannya. Dan di dalam keluarga pula anak akan memulai interaksinya dengan selainnya. Sehingga, pembentukan kepribadian pada anak pertama kali akan dibentuk di dalam keluarga.

Anak yang hidup di lingkungan keluarga yang baik, maka akan bermoral baik. Dan sebaliknya, anak yang hidup di lingkungan keluarga yang buruk, maka si anak akan bermoral buruk pula. Dengan kata lain, lingkungan keluarga yang baik akan bernilai positif bagi si anak. Dan sebaliknya, lingkungan keluarga yang buruk akan bernilai negatif bagi anak.

Di sinilah pentingnya peran keluarga, terutama orang tua. Karena merekalah yang akan “menentukan” masa depan anak. Orang tua adalah sebagai guru dan sekaligus orang yang akan di “taati” oleh anak. Lantas apa jadinya jika orang tua salah dalam mengambil langkah bagi pendidikan anak? Karena benar salahnya informasi yang di berikan orang tua akan menentukan kepribadian (pola pikir dan pola sikap) anak.

Adapun keluarga, ia tetaplah sebagai bagian daripada masyarakat. Sedangkan individu di dalam keluarga adalah sebagai bagian daripada anggota masyarakat. Untuk itu, setiap individu pasti akan berinteraksi dengan masyarakat yang ada di lingkungan tempat ia hidup. Meniadakan peran individu dalam bermasyarakat adalah hal yang sangat mustahil.

Masyarakat merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi pendidikan bagi anak. Maka, rusaknya tatanan sosial di masyarakat akan berpengaruh pada pendidikan atau kepribadian (pola pikir dan pola sikap) anak. Jadi, apakah pendidikan di dalam keluarga merupakan jaminan tidak rusaknya anak ketika keluar dari lingkungan keluarga?

Belum lagi hal ini di perparah oleh negara yang abai alias tidak berperan sebagai perisai/ pelindung utama bagi rakyatnya serta sebagai penyelenggara kesejahteraan. Negara tidak lagi menjamin terlahirnya anak-anak yang berkepribadian Islam. Slogan pendidikan yang disiarkan pemerintah hanyalah ilusi, bahwa pendidikan dalam sistem demokrasi melahirkan anak-anak yang beriman dan bertaqwa.

Adapun di dalam Islam, negara akan berfungsi sebagai pilar utama dalam pendidikan anak. Negara akan membuat kurikulum pendidikan yang berdasarkan pada akidah Islam. Dengan kurikulum itulah negara akan mencapai tujuan pendidikan yang hakiki, yaitu melahirkan individu-individu yang bersyaksiyyah Islam (pola pikir dan pola sikap Islam) dan bertaqwa. Dan negara akan senantiasa mengedukasi masyarakat dan menumbuhkan sikap amar ma’ruf nahi munkar yang akan menjadi benteng bagi individu yang akan melakukan penyimpangan terhadap syariat Islam serta pemberlakuan hukum yang memberikan efek jera bagi pelanggar syariat.

Maka, untuk menuntaskan segala macam problematika yang menimpa pada anak maupun remaja, perlu adanya pengembalian peran masing-masing komponen; adanya individu yang bertaqwa, keluarga sebagai peletak utama pendidikan pada anak, tatanan sosial masyarakat yang peduli akan lingkungan sekitar dengan berperan aktif dalam menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran serta adanya negara yang berfungsi sebagai perisai yang menjamin adanya ketaqwaan pada setiap individu, terkondisikannya keluarga dengan pendidikan Islam, masyarakat yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar serta negara yang menjamin berjalannya masing-masing fungsi tadi sesuai Islam dan negara akan memberikan sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar syariat Islam.

Untuk itu, hanya dengan memaksimalkan peran keluarga dalam pendidikan anak selamanya tidak akan cukup dan efektif tanpa mengembalikan pula peran keluarga, masyarakat dan negara. Memperkuat peran keluarga adalah baik. Hanya saja upaya itu tidak akan  maksimal tanpa adanya peran keluarga, masyarakat dan negara yang berjalan beriringan sesuai dengan yang telah ditetapkan Islam. Wallahu a’lam []

RWijaya
Samarinda, 25/12/16, 17.40

#NegaraSokoGuruKetahananKeluarga

Kamis, 08 Desember 2016

"Satu Kesatuan"

Kitalah satu
Meski jauh
Berjauhan
Dijauhkan
Menjauhkan

Kitalah satu
Dalam kesatuan
Bersatukan
Disatukan
Menyatukan

Kitalah satu
Karena kesatuan
Akidah
Iman
Yang menyatukan

Nor Aniyah
Kandangan, KalSel
(30/11/2016)

Minggu, 16 Oktober 2016

"Menunggu"

Ini tentang menunggu
Sendiri duduk di atas kursi terminal
Pikiran melompati putaran waktu
Sampai jam berapa
Hati bertanya-tanya
Kita akan tetap menunggu
Hingga telah datang yang kita tunggu

Nor Aliyah
Kandangan (Kalsel), 16 Oktober 2016

Kamis, 29 September 2016

Minder Nulis? No Way

Minder Nulis? No Way

Aku suka nulis. Kalau lagi mood, tahan berjam-jam. Tapi nulisnya di buku diari aja. Eh, diariku isinya nggak melulu curhat yang sedih-sedih, loh. Aku suka nulis apa aja. Tulis semua yang dilihat, didengar dan dirasakan. Waktu sekolah dulu, semua teman kucermati. Tingkah polah mereka diceritain satu-satu di buku diari. Wah, lucu-lucu. Pas dibaca ulang, jadi geli dan ketawa sendiri. Heboh, ya, kelakuan mereka.

Sayangnya ini hobi cuma buat diri sendiri. Gak pede dipamerin. Apalagi dipost ke media. Wuaa, nggak lah.  Maklumlah, saat itu, yang jadi trend  'kan hobi semacam karate, silat, basket, PMR, Pramuka, KSI, Paskibra, dan KIR. Mana ada temenku yang ngelirik hobi beginian? Nulis cuma bikin bete, cape, nggak level. Itu komentar mereka. Kalo pengen gaul, hobinya kudu gaul juga. Maka jadilah kuikut semua ekskul, sambil diam-diam tetap nulis dengan mindernya.

Pas kuliah, aku tetap nulis. Ah, ternyata di kampus juga susah nyari yang punya hobi sama. Kemana harus kutemukan teman yang kesukaannya sejalur denganku? Haus ilmu nulis dan sharing, tapi oasenya nggak ada. Keringlah diriku ini.

Kesibukan kuliah, membuatku terpaksa mengabaikan diari. Tapi tak mengapa. Masih tersalur buat nulis laporan dan skripsi. Selamatlah. Hobiku terdegradasi.

Tatkala jadi emak-emak, lah, kok, malah lupa nulis. Sibuk ngurus rumah, anak, suami, ini itu. Aktivitas nulis-nulis kayaknya nggak penting lagi. Pergaulanku berkutat di seputar ibu-ibu yang suka musingin kelakuan anak-anak, TDL naik, harga sembako mahal, terus besok masak apa .... halah, wes lah, nulis itu udah gak perlu lagi. Buang waktu ajah.

Bertahun-tahun kemudian. Pada suatu waktu. Dalam perjalanan naik angkot, sepulang acara pengajian di luar kota, kebetulan aku bareng seorang kenalan dari kota yang bertetangga dengan kotaku. Eh, tak dinyana, ternyata dia suka nulis.

Untuk pertama kali dalam hidup, akhirnya aku berjumpa dengan orang yang sehobi. Surprise. Serasa melayang-layang di awan kesenangan. Wih, perjalanan empat jam nggak kerasa. Sepanjang jalan ngobrol tentang dunia penulisan.

Begitu sampai, usai menunaikan amanah di rumah, aku langsung ambil hape. Ngetik di situ sampai dua jam. Rasanya puas.

Tetiba, aku tersadar. Hati ini tergerak kembali menulis kala berjumpa dengan orang-orang dengan kesukaan yang sama. Tak sekedar itu. Aku juga terdorong menyelam lebih dalam di samudera ilmu penulisan ini.

Baiklah. Sudah saatnya jari jemari ini dilenturkan, agar luwes memainkan kata dan menarikan tulisan. Namun sejuta pesimis menghujani. Aku butuh motivasi.
Beruntung pada suatu waktu, mataku tertumbuk pada share seorang teman di akun fesbuk. Ajakan bergabung dalam grup Akademi Menulis Kreatif.

Ini yang namanya pucuk dicinta ulam tiba. Aku terpukau melihat banyaknya penulis di grup itu. It's so amazing. Ternyata, aku tak sendiri, kawan :). Kau tau? Ternyata semangat dan kualitas lebih terpacu jika kau beredar di antara orang-orang dengan passion sama sepertimu.

Yup, yup. Tak lama aku gabung di grup itu, fastwriting dan mindmapping meningkat pesat. Pernah kubuktikan sendiri. Bikin novel dalam dua minggu. Meski pas proses editing tepar 😂😂😂.
Minderku juga kabur. Senangnya.

Sekarang, saatnya aku berbagi. Kamu tertarik? :) Full smile :D

Ketik aja yah.

Eva_namakamu_JoinAMK_email
Kirim ke WA 0819-5916-1610

#JadilahSahabatAMK
#AkademiMenulisKreatif

GRATIS LOH :D

#Eva, Kandangan, Kalsel 29.09.2016

Curhat Siswa Akademi Menulis Kreatif (AMK)

Mencurahkan isi hati di sosmed, kesannya kok lebay amat sih. Sedih dikit curhat di sosmed, bingung dikit tulis di sosmed, marah dikit tulis di sosmed. Kalau sedang senang, pamer juga di sosmed. Apalagi kalau banyak yang like, makin semangat deh curhatnya.

Memang tak selamanya isi hati yang dicurahkan itu hal-hal yang bersifat negatif. Tak selamanya juga kesenangan itu untuk dipamerkan. Bisa jadi kebahagiaan yang disampaikan di sosmed bertujuan untuk menginspirasi dan berbagi kebaikan dengan orang lain. Jika demikian adanya, kenapa tidak? Bukankah Allah Swt berfirman, yang artinya:

"Dan apa-apa yang berkenaan dengan nikmat Tuhanmu, maka  ceritakanlah" (TQS. Adl-Dluha: 11)

Jika saya boleh sedikit curhat. Sedari lama saya berkeinginan untuk bisa menulis. Melihat tulisan-tulisan orang di majalah dan koran, sepertinya mudah sekali, semudah membacanya. Tetapi keinginan tersebut tinggallah keinginan, artikel pertama saya pada tahun 2000 untuk majalah kampus pun langsung ditolak redaktur. Bahasanya terlalu kaku dan normatif katanya. Ya sudahlah, keinginan itu akhirnya lama terpendam.

Saya mencoba menulis kembali pada tahun 2005-an. Kolom opini di sebuah media lokal, itulah target utama saya. Namun jangankan satu paragrap, satu kalimat pertama pun saya hapus berkali-kali. Walhasil, setelah beberapa kali memaksakan diri, jadilah beberapa halaman tulisan opini. Dengan percaya diri, saya antar sendiri file dan hardcopy tulisan itu ke media yang ditargetkan. Hasilnya? Alhamdulillah masih ditolak.

Ada kebahagiaan tersendiri saat ditolak redaktur media lokal yang saya temui. Karena redaktur opini yang saya temui bukan sekedar menolak, tetapi dengan baik hati beliau mengajarkan saya tentang tata cara membuat tulisan opini yang layak muat. Beliau berikan banyak masukan kepada saya pribadi. Sayang sekali, karena sudah sangat lama dan interaksinya terbatas, saya lupa nama beliau. Mudah-mudahan beliau membaca tulisan ini.

Setelah diberi banyak masukan, saya pun mengedit tulisan saya kembali. Banyak yang saya perbaiki sesuai masukan dan arahan Sang Redaktur. Alhamdulillah setelah selesai, tulisan tersebut tayang juga di sebuah media cetak lokal. Meskipun setelah diedit kembali oleh redaktur. Saya terus menulis dalam beberapa bulan kemudian, hingga akhirnya vaccum. Ada kejenuhan tatkala saya menulis dalam kesendirian.

Pada tahun 2014, mulailah saya menulis kembali. Artikel dan opini saya mulai mengisi beberapa media cetak dan daring. Namun, kejenuhan itu akhirnya tetap mendera. Kalau kata para penulis mayor, saya terkena writers block. Semacam penyakit yang membuat para penulis kehilangan ide tulisan.  Saya pun sempat diam dalam beberapa bulan. Hingga dipertemukan kembali dengan seorang guru dan sahabat, beliau adalah Apu Indragiry, seorang penyair dan juga perintis Akademi Menulis. Beliaulah yang memasukkan saya ke dalam grup komunitas Akademi Menulis Kreatif (AMK), di WA dan di Telegram.

Sebagaimana yang pernah diumpamakan oleh Rasulullah Saw tentang pengaruh teman. Jika kita dekat dengan seorang pandai besi, minimal kita akan terkena percikan apinya. Begitu pula jika kita dekat dengan penjual minyak wangi, minimal kita akan teroles wanginya. Saat kita berkeinginan menjadi seorang penulis, bergaul dengan sesama penulis, tentu pilihan yang tepat. InsyaAllah kemampuan menulis kita akan terus terjaga dan terlatih.

Di kelas online Akademi Menulis Kreatif pula saya mulai belajar menulis puisi dan cerpen. Alhamdulillah selama bergabung di grup AMK, saya bisa menuntaskan 2 Buku Antologi, 1 buku kumpulan puisi dan cerpen serta 1 buku yang saya beri judul Menulis Perjuangan dan Dakwah.

Via WA dan Telegram, aktifitas diskusi di grup AMK menjadi lebih bebas, tidak terikat waktu dan tempat. Tentu di antara teman-teman ada yang bertanya. Dengan berbagai manfaat yang diterima, berapakah biaya untuk gabung grup WA dan Telegram AMK? Biayanya adalah waktu, ketekunan dan keseriusan. Mau konsultasi dan diskusi seputar menulis serta ikut kelas menulis online mingguan, semuanya tidak dipungut biaya sepeser pun. Hanya paket data, selain itu gratisss.

Oleh karena itu, bagi Anda yang sedang belajar menulis, atau ingin menjadi penulis. Bisa gabung AMK dengan mengetik format berikut:

aryh_namaanda_joinAMK_email

lalu kirim ke 0819-5916-1610

Terima kasih sudah membaca curhatan saya. Semoga bermanfaat. Aamiiin.

Ary H.

#JadilahSahabatAMK
#AAkademiMenulisKreatif