Minggu, 07 Agustus 2016

Haruskah Nikah Dini?

Wow, surprise.

Itulah reaksi pertama saya, begitu baca berita pernikahan dini seorang ustadz muda. Hingga kini beritanya booming di mana-mana. Di-up semua media. Dan meruaplah pro-kontra. Itu sudah pasti.
Di negeri yang kental liberalisasi ini, semua berhak memberikan pendapatnya. Dibedahlah itu fakta dari berbagai sisi.

Bagi kontra nikah dini, muncul kekhawatiran dengan diblow-upnya berita pernikahan ini. Kuatir menginspirasi. Maka diungkaplah berbagai data statistik agar tercapai justifikasi.

Kabarnya, nih, hasil survey Plan Indonesia sebanyak 44% pelaku pernikahan dini mengalami KDRT.  Kesimpulan pun mengarah pada perlunya merevisi usia pernikahan perempuan yang selama ini timpang dibandingkan laki-laki sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan saat ini.

Hanya saja, perlu dipertanyakan juga. Apakah KDRT penyebabnya adalah semata-mata usia? Kalau usia hanyalah satu dari sekian faktor, mengapa solusinya mentok di revisi usia perkawinan? Bagaimana dengan stress masalah ekonomi, tekanan kriminalitas, godaan pornografi-pornoaksi yang melibas semua umur, narkoba/miras dan lain-lain?

Terus, diungkap juga, kabarnya di provinsi Jawa barat Barat tingkat perceraian sangat tinggi dari tahun ke tahun. Perbandingan pada tahun 2013 hingga Oktober 2014  mengalami tingkat angka perceraian hampir mencapai 10% dibanding jumlah pernikahan. Artinya, peningkatan angka perceraian cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian dikatakan Kepala Subbag Informasi dan Humas Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jabar, Abdurrahim, pada Seminar Pendewasaan Usia Perkawinan di Bandungbeberapa waktu lalu. Lebih lanjut Abdurrahim menyatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah pernikahan usia dini.

Tuh, kan, hanya salah satu penyebab. Bagaimana dengan penyebab lainnya? Saya jadi mikir sendiri, yang bermasalah itu usianya atau pendewasaannya?

Lalu ada lagi data dari riskesdas 2010, jumlah kematian ibu karena terlalu muda melahirkan sebanyak 2,6 %.

Lalu, yang 7,4% nya gimana? Terus penyebab kematian ibu melahirkan di usia muda, apa sudah ditelusur baik-baik? Jangan-jangan karena faktor kurang gizi, kurang pengetahuan, tak punya duit buat ongkos bersalin, atau prosedur bpjs yang bebelit-belit. Bukan semata-mata tersebab usia.

Lalu, yang melahirkan di luar nikah, apa udah dimasukin ke data statistik? Ternyata banyak juga tuh abg melahirkan yang sehat-sehat saja. Bahkan melahirkannya ada yang di dalam WC, tanpa pertolongan memadai.

Saya di sini cuma mau obyektif saja melihat fakta.

Nah, bagi yang pro-nikah dini, ada juga data tandingannya. Tuh, lihat, tingginya angka gaul bebas di kalangan remaja. Yang kena Hiv/Aids ternyata kebanyakan adalah remaja. Belum lagi married by accident. LGBT? Oh no, remaja juga ketularan gaya gaul jenis ini.

Hasil penelitian Yayasan Kesuma Buana (dalam http:/www.acicis.murdoch.edu.au, diakses pada 10 Maret 2012) “menunjukkan bahwa sebanyak 10.3% dari 3,594 remaja di 12 kota besar di Indonesia telah melakukan hubungan seks bebas”, berdasarkan penelitian di berbagai kota besar di Indonesia, sekitar 20 hingga 30 % remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks bebas. Celakanya perilaku seks bebas tersebut berlanjut hingga menginjak ke jenjang perkawinan (doyan selingkuh maksudnya). Ini di mungkinkan karena longgarnya kontrolan orang tua pada mereka.

Pakar seks juga spesialis Obstetri dan Ginekologi Dr. Boyke Dian Nugraha di Jakarta mengungkapkan, dari tahun ke tahun data remaja yang melakukan hubungan seks bebas semakin meningkat. Dari sekitar 5 % pada tahun 1980, menjadi 20 % pada tahun 2000. Gunawan, (2011:52)

Data tersebut sejalan dengan survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2010, 52 persen remaja Medan sudah melakukan seks bebas yang berdampak kepada terjangkitnya penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS), (dikutif dari www.kompas.co.id diakses pada tanggal 20 Maret 2012). Ini artinya setiap tahunnya fenomena seks bebas atau perilaku sek pra-nikah yang dilakukan remaja terus mengalami peningkatan bahkan menambah korban penularan PMS (penyakit menular seks).

Perilaku seks bebas yang melanda remaja sering sekali menimbulkan kecemasan para orang tua, pendidik, pemerintah, para ulama dan lain-lain. Untuk itu, perlu dilakukan penanganan sedini mungkin untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti aborsi. Aborsi adalah dampak paling berbahaya dari seks bebas, yang dari tahun ke tahun semakin banyak dilakukan remaja di indonesia Sebanyak 62,7% remaja SMP tidak perawan dan 21,2% remaja mengaku pernah aborsi.Perilaku seks bebas pada remaja tersebar di kota dan desa pada tingkat ekonomi kaya dan miskin.

Departemen kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30% dari total 2 juta kasus dimana sebagian besar dilakukan oleh dukun. Dari penelitian yang dilakukan PKBI tahun 2005 di 9 kota mengenai aborsi dengan 37.685 responden, 27% dilakukan oleh klien yang belum menikah dan biasanya sudah mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara sendiri dengan meminum jamu khusus. Sementara 21,8% dilakukan oleh klien dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani permintaan aborsinya.

Kalau dilihat-lihat, dibanding-banding, kok kayaknya lebih parah data akibat pergaulan bebas remaja, ya? Jadi kalo kita mau ngerem nikah dini, apa kita punya solusi buat persoalan gaul bebas dan kawan-kawannya?
 
Realitas berbicara, arus kebebasan sudah merajalela. Kebebasan ekspresi dan berpendapat, menguar, mencuci otak remaja. Filter diserahkan ke diri masing-masing.

Peran negara? Tukang nyalahin orangtua. Bikin kebijakan semena-mena. Minta dukungan sana sini supaya dapat dukungan untuk memberantas nikah dini. Tapi tidak bertanggungjawab membendung arus kebebasan. Tak memberi batasan jelas makna pornografi dan pornoaksi. Katanya sih takut melanggar HAM. Komitmen minimalis memblokir situs porno yang bikin narkolema. Belum lagi sistem pendidikan yang tidak mendewasakan remaja. Disuruh mikir studi terus biar cepat dapat kerja. Ujung-ujungnya, keluarga yang dituntut membentengi remaja.

Lah, berapa persen sih keluarga yang paham untuk membentengi anaknya dari pengaruh merusak? Dan seberapa kuat mereka membendung arus yang dibuka kerannya, justru oleh penguasa?

Geleng-geleng kepala saya.

Kembali ke data statistik kontra nikah dini tadi. Jika persentasi kemudharatan yang terjadi oleh nikah dini, toh, ternyata didominasi oleh faktor di luar usia, maka solusi seharusnya diarahkan ke sana.

So, dengan berbagai keruwetan ini, haruskah nikah dini diperdebatkan?

Pe-er ke depannya bagi yang terinspirasi (kayaknya saya, nih), kudu nyiapin anak sebaik-baiknya. Kalo anaknya perempuan, disiapin jadi calon ibu rumah tangga yang baik dan benar, upps, shalihah maksudnya. Nah, kalo laki-laki, siapin jadi imam rumah tangga yang shalih kayak Alvin. Plus satu lagi yang tak kalah penting, jadikan dia generasi teladan, pioner, perubah menuju peradaban gemilang.

#Eva, Kandangan, Kalsel, 7 agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar