“Sudahlah Di, jangan kau campuri lagi urusanku!” Teriak orang yang
tetiba marah di seberang telepon.
“Aku sudah bosan dengan ceramahmu!” Lanjutnya. Suara telepon pun
berakhir dengan nada tuut.
Didi hanya bisa ternganga dengan HP masih di genggaman. Ucapan salamnya
pun tercekat hanya sampai di tenggorokan, dengan mulut menganga. Akhirnya, ia
pun menarik napas dalam-dalam, kemudian bergumam, “Astaghfirullah!” hanya
lafadz ini yang membuatnya lebih tenang.
Untuk ke sekian kalinya Didi menelpon sobatnya di Jakarta, Kamil namanya.
Sobat SMA-nya, seorang anak kampung yang lugu dan bersahaja. Namun Didi tak
menyangka jika ia menjadi sangat berbeda. Meskipun pendiam, Kamil cukup cerdas
dan senang membaca. Tak kenal topik apapun, hampir setiap buku baru di perpus
dilahapnya sampai habis. Ada untungnya buat Didi, setelah sering bersama Kamil,
ia pun menjadi ketularan hobi membaca. Biasanya tukang baca itu kacamatanya
tebal, tapi rumus itu sepertinya tidak berlaku buat Kamil. Matanya
normal-normal saja. Mungkin ketika kecilnya, sobatnya tersebut sering makan
wortel atau vitamin A dari Posyandu, pikir Didi. Semasa di SMA dulu, mereka
sering bareng dalam kegiatan OSIS.
Bagi Didi, Kamil sudah seperti saudaranya. Jika sedang libur sekolah, ia sering
menginap di rumah Kamil. Oleh karena itu, keluarga Kamil pun sudah sangat
mengenal Didi. Begitupun sebaliknya. Curhat-curhatan, sudah biasa bagi
mereka. Traktir-traktiran juga. Mereka berdua tak pernah itung-itungan
dalam masalah uang. Siapa yang lagi tebel dompetnya, ia-lah yang nraktir.
Yang paling sial itu kalau keduanya sedang bokek, terpaksa puasa deh.
Pernah juga mereka dipanggil Guru Geografi, gara-gara hasil ulangannya
sama persis. Semua gara-gara Didi lupa jadwal ulangan. Karena tidak belajar, ia
pun akhirnya dibantu Kamil secara tidak jujur, alias nyontek. Hasilnya
bisa diduga, 30 soal pilihan ganda dan 5 soal essay isinya persis sama. Duh,
benar-benar pengalaman yang sangat memalukan. Sejak kejadian itu, mereka
pun kapok untuk saling bantu contek-contekan.
Mereka pun pernah dipuji-puji Guru Fisika di depan kelas para juniornya. Bukan
hanya karena kekompakan mereka dalam mengerjakan praktikum fisika. Tetapi,
hanya Didi yang bisa memotivasi Kamil untuk ikut ajang murid berprestasi
se-Tasikmalaya. Kamil yang agak kurang percaya diri, akhirnya percaya diri dan
mau ikut ajang tersebut. Kamil pun akhirnya mendapatkan posisi ke-3 terbaik di
antara para siswa teladan SMA se-Tasikmalaya. Pokoknya, di situ ada Didi, di
situlah ada Kamil. Kadang terlintas juga di pikiran Didi, kalau ia dan Kamil
saat ini masih SMA, bisa-bisa mereka berdua dituduh aktifis Gay. Iiih, ngeri
deh. Na’udzubillahi min dzalik.
Setelah lulus SMA, mereka melanjutkan ke perguruan tinggi pilihan
masing-masing. Kamil melanjutkan kuliahnya di salah satu kampus ternama di Jakarta,
adapun Didi melanjutkan studinya di Jogjakarta. Namun, kedua sobat ini tetap
sering berkomunikasi via sms dan telepon. Mereka juga kadang saling mengirim
makanan. Pernah tuh Didi mengirim bakpia via paket. Untung saja ketika sampai
di Jakarta, kondisinya masih layak untuk dimakan.
Perselisihan antara Didi dan Kamil terjadi setahun belakangan ini. Tepatnya
di pertengahan semester ketiga kuliah mereka. Didi memang merasakan ada sesuatu
yang berbeda dari kelakuan Kamil, terutama ketika mereka bertemu di kampung
pada libur panjang lebaran kemarin. Kamil yang terkenal pendiam itu, kini menjadi
banyak bicara dan bercerita. Ia terlihat sangat pede.
“Aku sekarang beda kan, Di?” tanyanya kepada Didi.
Didi agak bingung menjawabnya. Karena, ada sesuatu di pikirannya yang
ingin sekali ia tanyakan kepada sobatnya. Akan tetapi, ia bingung memilih
kata-kata yang pas. Ia tak mau reuninya itu berbuah perselisihan hanya karena ia
salah ngomong. Belum sempat Didi menjawab, Kamil berkata lagi.
“Terus terang saja Di, selama setahun ini, aku merasa sangat bebas.”
Jelas Kamil, seraya menghempaskan kepalan kedua tangannya ke samping kanan dan kiri.
“Sekarang, aku merasa terbebas
dari doktrin-doktrin yang selama ini mengekangku, aku jauh lebih percaya diri,”
ucap Kamil mantap.
Didi pun mendengarkan seluruh cerita Kamil tentang kisahnya selama di
Jakarta. Mulai dari pertemuan serta pergaulannya dengan para aktifis senior di
kampusnya. Kamil pun banyak bercerita tentang buku-buku asing yang dibacanya. Terus
terang, di satu sisi Didi kagum dengan perubahan sikap Kamil. Namun, di sisi
yang lain ia kok merasa ada yang tidak beres dengan sobatnya tersebut.
Terutama, ketika Didi bertanya tentang shalat berjamaah. Dari sejak
kedatangannya di pekan terakhir Ramadhan sampai malam itu, yakni malam ke-4 bulan
Syawal, ia tak pernah melihat Kamil berjamaah di masjid.
“Selama di sini, aku kok belum pernah melihatmu berjamaah di masjid ya
Mil?” tanya Didi penasaran.
“Itu kan urusan pribadi masing-masing, Di. Kau tak perlu lah bertanya
tentang itu padaku,” jawab Kamil dengan santai seperti tidak ada masalah.
“Emangnya, kalau rajin sholat pasti masuk surga ya?” Tanya Kamil
sambil menepuk bahu kiri Didi.
Jantung Didi terasa
berhenti sejenak, ia bagaikan
mendengar suara petir menggelegar di siang hari, mulutnya tercekat. Dahinya
pun berkerut. Ia sangat kaget, ada apa dengan sobatnya? Padahal, Kamil yang ia
kenal selama ini adalah pemuda yang sangat rajin ke masjid. Didi pun memutar
otak, di benaknya berseliweran berbagai kata untuk disusunnya. Ia ingin memilih
kalimat yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan sobatnya tersebut.
“Aku kok merasa aneh dengan pertanyaanmu Mil,” jawab Didi kemudian.
“Kamu kan tahu sendiri kalau sholat itu merupakan perintah Allah Swt.
Ketika kita melaksanakan perintah Allah Swt, Allah tentu ridlo kepada kita dan
ganjaran yang Allah janjikan untuk orang yang Ia ridloi adalah surga-Nya,” jelas
Didi yang mencoba menerangkan sekemampuannya.
“Nah, itulah masalahnya Di. Berarti, yang penting Tuhan ridlo kepada
kita kan?” tukas Kamil.
“Banyak sekali jalan yang bisa kita pilih agar Tuhan ridlo kepada
kita. Yang penting, kita bermanfaat untuk orang banyak,” jelas Kamil.
“Astaghfirullah, Mil. Berarti menurutmu sholat lima waktu sudah kau
anggap tak penting?” Tanya Didi dengan nada keheranan.
“Sudahlah Di, ilmu agamamu masih doktrinan para orang tua. Kamu tidak
akan mengerti, ilmumu belum nyampe” Jawab Kamil. Ia terkesan ingin berusaha
menyudahi perbincangan.
Didi tertegun penuh tanya. Ia tak habis pikir, apa yang telah mengubah isi
pikiran sobatnya. Malam itu, Didi terus mengajak Kamil untuk berbincang-bincang
hingga larut malam. Terungkaplah berbagai pemikiran Kamil yang menurutnya
sangat nyeleneh. Menurut Kamil, kewajiban sholat itu intinya hanyalah
do’a. Ketika adzan berkumandang, maka cukup berdo’a saja, hal itu sudah dapat
memenuhi seruan Tuhan.
Kamil menjelaskan bahwa yang penting bagi manusia adalah percaya kepada
Tuhan, mereka tak perlu ribet dengan doktrin aturan Tuhan. Tuhan telah
menciptakan manusia dengan akalnya, manusia bisa mengatur dirinya sendiri. Kamil
pun menegaskan bahwa doktrin aturan Tuhan inilah yang membuat umat Islam mundur
dan terbelakang. Ia contohkan bagaimana negara-negara Barat maju dan memimpin
dunia, semuanya karena mereka meletakkan aturan agama pada porsinya, yakni pada
aturan privat (pribadi) semata. Sehingga bagi Kamil, untuk urusan ritual
serahkan saja kepada individu masing-masing.
Malam itu, Didi hanya bisa mendengarkan secara seksama. Ia tak bisa
berkomentar. Ia tahu bahwa ada yang salah dengan pemikiran sobatnya, tetapi ia bingung
di mana letak kesalahannya. Semua ide dan beberapa istilah yang disampaikan sobatnya
tersebut banyak yang terasa asing baginya. Bahkan bukan hanya dia. Kakaknya
Kamil pun merasakan hal yang sama. Mereka sudah berusaha mendiskusikan dengan
ajengan di kampungnya. Tetapi, tidak menemukan penjelasan yang memuaskan. Akhirnya,
semua tanda tanya besar itu ia bawa hingga ke perantauannya, Yogyakarta.
Allah Swt Sang Maha Pencipta, Ia Maha Mengetahui atas kebingungan
hamba-Nya. Skenario-Nya adalah skenario yang terbaik. Didi yang terdampar dalam
kebingungan karena pertanyaan Sang Sobat, Alhamdulillah dipertemukan dengan Mas
Tono. Didi bertemu dengannya di Jogjakarta. Beliau adalah salah satu aktifis senior
di kampusnya. Ketika itu, Didi sedang duduk di lobi sayap timur kampusnya.
Tiba-tiba ada seorang mahasiswa mendekatinya, ia mengajaknya berkenalan dan
berbincang-bincang. Itulah Mas Tono, orangnya sangat supel dan enak diajak
bicara. Setelah pertemuan itu, Mas Tono sering mengajaknya ke Pengajian Sabtu
pagi. Tetapi, Didi tak pernah bisa hadir karena bentrok dengan jadwal kuliahnya.
Namun Mas Tono tak pernah menyerah, hingga pada suatu saat Mas Tono menanyakan
sesuatu hal yang membuat Didi sangat terkesan. Pertanyaan itu sebetulnya pernah
ia dapati di sekolahnya, tetapi tak pernah seserius itu. Bagi Didi, pertanyaan
tersebut sebetulnya pertanyaan yang terkesan teoritis, tetapi ketika Mas Tono
yang menanyakannya, kok menjadi lain rasanya.
“Di, kalau menurut kamu, kita hidup di dunia ini untuk apa sih?”
Tanya Mas Tono setelah mengajak Didi bersalaman, serta menanyakan kabar serta perkuliahannya.
Didi tersenyum, kemudian mencoba menjawab sebagaimana yang selama ini ia
ketahui.
“Ya, setahu saya untuk beribadah Mas,” jawab Didi singkat.
“Terus, kalau hidup itu untuk beribadah, berarti kamu sholat, zakat
dan berdo’a terus-menerus ya?” Tanya Mas Tono lebih lanjut.
“Ya enggak lah Mas,” Didi
tersenyum lebar.
“Masak ibadah terus,” lanjut Didi. Sejenak ia pun sedikit
mengerutkan dahi atas jawaban yang telah ia berikan. Didi seolah merasa ada
yang tidak konsisten dengan jawabannya.
“Tadi kan kamu bilang hidup untuk ibadah tapi kamu bilang masak ibadah
terus?” Tanya Mas Toni.
“Iya ya mas? Terus Aku salah jawab berarti Mas?” Didi tersenyum dalam
kebingungan. Tangan kanannya menopang dagu yang sebenarnya tidak akan jatuh. Bola
hitam matanya pun mengarah ke langit-langit sayap timur, kemudian ia pun
sesekali melirik ke arah kerumunan mahasiswa yang sedang membaca koran.
Pertanda ia mulai berpikir serius.
Dari perbincangan itulah kemudian Mas Toni menjelaskan tentang bagaimana kita
mesti memaknai hidup. Pengalaman tersebut sangat berkesan baginya. Didi seakan
kembali ke titik nol hidupnya. Ia semakin tahu secara jelas tentang apa yang
penting dalam hiddupnya. Bahkan, setelah itu perbincangan itu Didi melobi
dosennya untuk pindah kelas mata kuliah. Semua itu ia lakukan supaya bisa
mengikuti Pengajian Sabtu Pagi di musholla kampusnya.
Dari pengajian rutin mingguan inilah Didi mendapatkan banyak pemahaman
keislaman. Islam yang ia kenal sebagai ajaran ritual semata, ternyata jauh
lebih luas dari itu. Islam tidak hanya mengatur urusan ritual atau hubungan
manusia dengan Penciptanya semata. Tetapi, Islam juga mengatur hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, yang tercakup dalam masalah pakaian, makanan dan
akhlaq. Islam pun mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia yang lain
yang tercakup dalam bidang ekonomi, sosial pergaulan, budaya, politik,
pendidikan, keamanan sampai sanksi bagi para pelaku kejahatan.
Melalui pengajian rutin ini pula Didi mendapatkan jawaban atas
kegundahannya selama ini. Kegundahan karena pertanyaan sobatnya, Kamil. Ketika
salah seorang pengisi Pengajian Sabtu Pagi, yakni Ust. Burhan, menjelaskan
tentang tiga ideologi (pandangan hidup) yang manggung di dunia. Tiga
ideologi itu adalah Islam, sekulerisme dan sosialisme. Memang dua di antara
tiga istilah itu sangat asing baginya. Tetapi, semua itu dijelaskan Ust. Burhan
secara rinci, dari mulai akar pemikirannya hingga daun pemikiran yang tumbuh
dari ketiganya. Dari sanalah Didi menyadari bahwa sobatnya sudah terkontaminasi
pemikiran liberal, ide kebebasan yang terlahir dari pandangan hidup
sekulerisme. Sekulerisme telah memisahkan agama dari kehidupan, wajarlah jika
ia meniadakan peran agama dalam kehidupan. Agama dianggap sebagai
doktrin-doktrin berbahaya yang menghambat peradaban manusia. Ia pun menjadi tahu,
kenapa negara Barat bisa bangkit setelah meninggalkan agamanya.
Didi merasa punya amunisi untuk menyadarkan Kamil. Sejak itulah ia rajin
menelpon sobatnya. Ia ingin mengajak Sang Sobat untuk kembali ke dalam
pemikiran Islam yang benar dan utuh. Ia ingin menyadarkan sobatnya dari
keterkaguman yang membabi buta terhadap pandangan hidup Barat yang rusak dan
merusak. Sampai-sampai sobatnya berani menyepelekan shalat lima waktu, serta menyepelekan
ketaatan terhadap aturan Allah Swt, dengan dalih kehebatan akal manusia.
Didi sudah mencoba berbagai cara. Bahkan, ia berencana untuk ke Jakarta
pada libur semester ganjil ini. Lumayan ada waktu dua minggu untuk berkunjung kepada
sobatnya.
“Mil, liburan semester ini aku berkunjung ke tempatmu ya?” Tanya
Didi melalui telepon selulernya.
“Boleh, mau apa Di?” Tanya Kamil kembali.
“Tumben kamu ga mampir ke Tasik, malah langsung ke Jakarta?”
Lanjut Kamil. Memang biasanya Didi memanfaatkan libur semester untuk pulang ke
kampungnya di Tasikmalaya.
“Engga apa-apa Mil, aku ingin ketemu kamu saja,” jawab Didi.
“Tapi, aku ga mau dengar ceramahmu ya” Ucap Kamil dengan ketus. Ia
seperti sudah bisa menangkap maksud kedatangan Didi ke Jakarta.
Didi terdiam, dalam hatinya ia hanya bisa beristighfar dan berdo’a kepada
Allah Swt.
“Memangnya kenapa, Mil?” Tanya Didi kemudian.
“Kita ambil jalan masing-masing saja. Bukan kamu saja yang punya jalan
ke Sorga,” jawab Kamil dengan nada mulai meninggi.
“Astaghfirullah Mil, aku sama sekali tidak mengklaim bahwa hanya aku
yang akan masuk sorga,” jelas Didi.
“Aku hanya ingin mengingatkanmu, pemahamanmu sudah terlalu jauh
menyimpang. Sholat lima waktu saja kamu sepelekan. Bagaimana dengan perintah
Allah Swt yang lainnya?” Didi mencoba mengingatkan sobatnya.
“Sholat saja terus yang kamu bahas. Kan sudah aku jelaskan tentang
bagaimana aku memaknai sholat. Berdo’a saja, cukup,” jawab Kamil.
“Tidak Mil, itu pemahaman yang salah. Perintah Shalat di dalam Al
Quran harus dijelaskan dengan hadits Rasulullah Saw,” jelas Didi.
“Beliau bersabda :”Shollu kama roaitumuni usholli”, yang artinya
sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat,” lanjut Didi
mengutip salah satu hadits.
“Itu kan menurutmu, sah-sah saja kan jika aku punya pemahaman yang
lain?” Kamil malah balik bertanya.
“Ga boleh Mil, dalam hal ini tidak boleh ada perbedaan pendapat. Akal
kita harus tunduk kepada nash,” tegas Didi.
Entah ke sekian puluh kalinya, Didi mengingatkan Kamil tentang
keterbatasan akal manusia, juga tentang pentingnya memaknai hidup. Sehebat
apapun manusia, ia tetap punya banyak keterbatasan. Jangankan untuk membuat
aturan yang terbaik untuknya, hanya sekedar untuk menyadari kedip mata selama
kita bicara ditelpon saja, kita tidak bisa. Mencegah rambut yang memutih atau
rontok saja manusia takkan pernah bisa. Karena itulah kita tak boleh takabbur
dan sombong. Seperti Fir’aun yang hanya karena pintar, berkuasa dan berharta, lalu
ia menyepelekan Sang Pencipta. Demikianlah Didi selalu mengingatkan.
Diskusi via telepon inilah yang membuat Kamil marah, hingga berujung pada
penutupan telepon secara sepihak oleh Kamil, sebagaimana yang diceritakan pada awal
kisah ini.
-------------------
Didi terus menatap langit-langit kostannya yang putih bersih. Sesekali,
ia memalingkan tatapannya ke arah photonya bersama Kamil saat masih SMA dulu.
Kamil sobatnya tercinta, kini telah terjangkit virus pemikiran liberal sekuler.
Satu tahun di Jakarta, pemikiran Kamil langsung berubah. Didi tak habis pikir,
dengan siapakah Kamil bergaul. Jika ingat hal tersebut, Didi merasa jauh lebih
beruntung karena bertemu dengan Mas Toni. Selain banyak mengenal pemikiran Islam,
ia pun menjadi punya kepercayaan diri untuk menyadarkan sobatnya. Pikirannya
terus melayang, ia sangat khawatir bila ada tutur katanya yang kurang pas
terhadap Kamil. Sehingga membuat Kamil tersinggung, marah serta menjauh darinya.
Di tengah perenungannya itu, sesaat kemudian telepon genggamnya berbunyi.
Ia bahagia, karena tertulis nama dan photo Kamil di telepon genggamnya.
“Alhamdulillah, Kamil sudah tidak marah lagi padaku,” Ucapnya.
Wajah Didi pun langsung berubah sumringah, bibirnya tersenyum lebar. Ia meraih
telpon genggamnya yang tergeletak di sudut kasur busanya yang sudah lepet.
“Assalamu’alaikum, Mil!” Sambut Didi.
Entah saking senangnya, belum sempat lawan bicaranya menjawab. Didi
langsung memberondongnya dengan pertanyaan lanjutan.
“Aku sangat senang sekali kamu nelpon kembali, sudah tidak marah sama
aku kan? Maafkan aku ya Mil jika ada tutur kataku yang kurang berkenan”
lanjut Didi dengan maksud mencairkan suasana. Karena ia sangat berharap sobatnya
mau menerimanya berkunjung ke Jakarta.
Mas Toni-lah yang menyarankan Didi supaya langsung menemui sobatnya ke
Jakarta. Menurutnya, diskusi secara langsung
bisa lebih mencairkan suasana. Mimik muka kita yang ceria dan santai
bisa membuat lawan bicara pun lebih terbuka. Berbeda jika kita berdiskusi hanya
via sms atau telepon semata.
“Hallo, hallo Mil!” Didi agak berteriak karena ia belum dapat
mendengar suara Kamil, hanya suara gaduh kendaraan yang ia dengar.
Tak lama kemudian terdengar jawaban dari seberang.
“Hallo, ini Saudara Didi ya?” Samar-samar terdengar suara dari
seberang, tetapi jelas itu bukan suara Kamil.
“Oh iya Pak, saya Didi.” Didi menjawab dengan nada suara yang meninggi,
khawatir orang di seberangnya tidak mendengar karena bisingnya suara kendaraan.
“Anda saudaranya Kamil?” Tanya orang tersebut.
“Bukan pak, saya sobatnya. Bapak siapa ya? Kok nelpon dengan HP sobat
saya?” Tanya Didi penasaran.
“Sebentar ya, saya ke pinggir dulu supaya tidak terlalu gaduh,”
pinta orang tersebut.
“Oh iya pak!” Jawab Didi.
Tak lama kemudian suara gaduh kendaraan mulai berkurang.
“Begini Mas Didi. Mohon maaf sebelumnya, saya Santoso, saya Polantas
yang sedang bertugas. Sobat Anda mengalami kecelakaan dan harus segera
dilarikan ke Rumah Sakit. Kondisinya koma” Jelasnya.
Didi langsung lemas. Wajah cerianya langsung berubah sayu. Tangannya yang
setadi semangat menyambut telepon dari sobatnya langsung bergetar dan lemas. Ia
langsung terduduk di sudut kamar, menahan diri dari beratnya berita yang ia
hadapi. Tak lama kemudian ia pun langsung menghubungi orang tuanya dan orang
tua Kamil.
--------------------------------------------
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Bulir-bulir air mata tak terbendung
terus mengalir di sudut mata Didi. Hidung yang memerah tak henti berisak
menahan kesedihan. Sobat yang ia cintai pergi begitu cepat. Matanya menatap tumpukan
tanah bertabur bunga-bunga yang masih basah. Pinggirannya dipigura tumpukan
batu yang berjejer rapi.
Didi teringat cerita para saksi di lokasi kejadian. Kata mereka, petang
itu Kamil terlihat menyeberang seperti hendak masuk ke pelataran masjid Jami. Namun,
ia kehilangan kendali motornya setelah terkaget dengan mobil yang melaju
kencang dari arah Barat. Ia seperti buru-buru menarik gas, inilah yang membuat
motornya melaju kencang ke arah selokan di depan masjid. Kepalanya yang hanya
memakai kopiah terbentur keras ke sudut tembok drainase. Perdarahan hebat terlihat
jelas dari hasil photo rontgen kepalanya, pertanda ada benturan keras di
kepala. Kamil mau menyeberang ke masjid? pikirnya. Sumringah hati Didi bila
membayangkannya. Di tengah lamunannya itu tiba-tiba pundaknya di tepuk dari
arah belakang.
“Di, maafkan Kamil ya? Ia telah sangat merepotkanmu belakangan ini,”
kata orang yang menepuk pundaknya.
Didi menoleh pelan, ternyata kak Farid. Ia adalah kakak sulung Kamil yang
sangat dekat dengan Didi. Kak Farid-lah yang sering menjadi tempat curhat
Didi sejak melihat perubahan sikap dan pemikiran Kamil.
Didi hanya bisa mengangguk dan kemudian memeluk kak Farid.
Kemudian dengan lirih Didi berkata,” iya kak, ini sudah ketentuan
Allah Swt, kita mesti ikhlash.”
Kak Farid seperti tidak mau larut dalam kesedihan, pelan-pelan ia
melepaskan pelukan tangan Didi. Kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
“Di, di HP ini ada pesan untukmu. Sepertinya Kamil belum sempat
mengirimkannya kepadamu.” Ujar Kak
Farid.
“Pesannya tersimpan di draft SMS,” lanjut Kak Farid, yang langsung
diiringi tangis dan air mata yang tak tertahankan.
Didi pun meraih HP yang diberikan kak Farid. Kemudian langsung membuka
draft SMS. Di urutan paling atas SMS itu tersimpan.
“Di, maafkan aku dan kesonmbonganku. Aku tahu aku salah. Kamu benar
Di. Aku telah terbutakan keangkuhan akalku sendiri...”
Didi berhenti sejenak, kalimat pembuka itu semakin membuat air matanya bertambah
deras. Ia bagaikan mendengar suara Kamil yang sedang bicara langsung di
hadapannya. Sejenak ia terdiam, lalu lanjut membaca draft SMS tersebut.
“...Buku-buku para pemikir Barat yang aku baca selama telah
memalingkan keyakinanku. Semua nasihatmu tentang kehidupan dunia, benar adanya.
Aku telah tenggelam pada palung kesombongan yang sangat dalam. Aku sangat
beruntung masih memiliki teman sepertimu, teman yang selalu mengingatkan aku.
Menarikku dari tepi jurang bahaya. Maafkan Aku sobat!”
Itulah isi draft SMS yang belum terkirimkan oleh Kamil kepada Didi. Tersimpan 17 Januari 2004 jam 16.43 WIB. Sekitar
setengah jam setelah perdebatan terakhir antara dia dan Kamil di telepon. Seberapa
kuatnya Didi menahan aliran air matanya, sekuat itu pula tekanan kelenjar air
matanya bertambah kuat. Ia genggam HP sobatnya tersebut bagaikan ia menggenggam
erat tangan Kamil. Ia tekankan HP itu ke pipi kanannya laksana sedang memeluk sobatnya.
HP Qwerty silver itu pun bermandikan air mata yang terus turun dari pipi Didi
yang tirus. Air mata kesedihan dan bahagia saling bergantian bulir demi bulir.
Mulutnya yang sedari tadi terkatup, terbuka pelan-pelan.
“Sama-sama, maafkan aku sobat...”
ucap Didi dengan suara lirih. (Ary H.-1/8/2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar