Rabu, 31 Agustus 2016

Darah Pena

Darah Pena

Kuasa kezaliman di pelupuk mata
Raga rengat tiada daya
Mulut pun terbungkam siksa
Hati remuk direjam lara

Bagaimana tidak merana?
Anakku anakku dibius dunia fana
Keluargaku keluargaku dikungkung dusta
Kemarahan dimana-mana
Bikin pepat rumahsakit jiwa

Sakit, umatku sakit
Kepingan beling menancapi hati
Jantungku terbakar emosi
Namun gerakku terkalang api

Tapi lihatlah Hai Angkara Murka
Tangan kami masih bebas menuang tinta
Jika tinta hitam kau sita
Yang merah masih ada

Kala tekad telanjur bertahta
Rindu ridha Ilahi semata
Maka siapa yang mampu menghambat pena
Tuk goreskan kata-kata
Menuang pedih rasa tersiksa

Wahai pengkhianat peradaban, selamanya, selamanya
Bait aksara ini akan menyiksa
Kau rendam kau hapus sia-sia saja
Huruf-hurufnya 'kan timbul kembali
Karena beroles tinta hidup dari darah kami

#Eva, Kandangan, Kalsel 31.08.2016

Jodoh adalah Misteri Ilahi

Berbicara tentang jodoh tidak akan ada habis-habisnya. Topik yang selalu hangat diperbincangkan dari dulu hingga kini, terlebih di kalangan para remaja.

Jodoh adalah misteri Ilahi. Siapapun tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali Sang Maha Pemilik Hati.

Jodoh adalah misteri Ilahi. Bisa dibilang, semua orang mengetahui hal itu. Lalu, mengapa ritual pencarian jodoh masih dilakukan "semau gue"? Padahal yang dinilai bukan apakah kita bertemu jodoh kita atau tidak, tetapi usaha kita dalam pencarian; apakah sesuai tuntunan Sang Pengatur atau selainnya.

Malang. Satu kata yang pas dilontarkan untuk pemuda yang satu ini. Aris, selama 7 tahun merajut kasih bersama seorang wanita yang diakuinya sebagai pacaranya. Berharap akan berlabuh di dermaga pernikahan bersama sang kekasih tercinta, namun akhir cintanya tak seperti yang ia harapkan. Ucapan selamat menempuh hidup baru harus ia lisankan untuk kekasihnya yang ternyata berlabuh di pelabuhan hati orang lain.

Sungguh malang. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah berinvestasi dosa, sakit hati pula. Mau tidak mau, kata "ikhlas" yang harus ditururkan oleh lelaki yang bernama lengkap Aris Prasetyo ini.

Jodoh adalah misteri Ilahi. Lebih baik menyibukkan diri dalam ketaatan yang pasti mendatangkan kebaikan daripada bertahun-tahun bergelut dalam kubangan hitam bernama pacaran yang niscaya mengundang murka Ilahi.

Yuk move on! Karena pacarmu belum tentu jodohmu.

RWijaya
Samarinda, 31/08/2016, 19.28

Selasa, 30 Agustus 2016

Di Bawah Curah Hujan

Hujan yang selalu taat kepada Tuhan
Jatuhkanlah tetes bulir-bulir airmu
Longsorkan gunung keangkuhan
Seret sampah kemunafikan
Biar sekulerisasi terbawa erosi
Bersama limbah-limbah libelarisasi serta racun demokrasi
Lalu tumbuhkan benih-benih iman
Segarkan tunas-tunas Islam
Suburkan ketaatan bani Adam kepada Allah
Karena air takkan tercurah indah tanpa rahmat-Nya

(Ary H.)

Senin, 29 Agustus 2016

Dekadensi moral anak bangsa, salah siapa?

Siapa yang tak tahu kelakuan remaja di zaman yang dikatakan modern saat ini. Hampir semua orang tua tahu. Bahkan anak-anak mereka tak jarang yang menjadi korban bahkan pelaku kerusakan yang terjadi.

Kesenangan yang fana telah membutakan hati para pemuda dewasa ini. Racun budaya berbisa yang dihembuskan oleh barat berhasil menggeser besarnya potensi pemuda menjadi dekadensi moral yang berkepanjangan.

Miris. Semakin hari penduduk dunia semakin rusak. Terlebih para pemuda-pemudinya. Dan lagi, untuk yang kesekian kalinya beredar foto miskin moral. Kali ini adegan tak pantas itu dishoot di sebuah kereta api dari Surabaya. Melakukan kemaksiatan di tempat umum saja mereka berani. Bagaimana jika bukan di tempat umum?

Dengan banyaknya fakta serupa, para orang tua pun semakin cemas. Pendidikan di dalam rumah ternyata tak mampu membentengi anak mereka dari luapan panas pergaulan di luar rumah. Lingkungan yang tidak kondusif di luar rumah berhasil membuat anak mereka bermuka dua. Terwarnai bukan mewarnai.

Mengapa semua ini bisa terjadi? Apakah individunya yang tak berbekal rasa takut pada Sang Pencipta, sehingga mereka bebas melakukan apa yang mereka inginkan? Atau keluarga --yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat-- tidak memberikan edukasi yang cukup bagi sang anak? Ataukah masyarakat sudah tidak lagi peduli dengan kerusakan ada? Atau apakah visi para penguasa bukan untuk menjaga moral anak bangsa, tetapi hanya untuk menjadi kaya?

Ya, semua adalah benar. Selama semua komponen tidak berjalan secara beriringan, maka selama itu jualah anak bangsa tidak akan terbebas dari lubang kenistaan. Wallahu a'lam.

RWijaya
Samarinda, 29/07/16, 09.23

Selasa, 23 Agustus 2016

"Bagian dari Kalian"

Siang malam telah berganti
Berlalu demikian cepatnya
Seakan baik-baik
Tapi tidak berasa ada arti
Ini tidaklah baik-baik saja

Kurasa, entahlah
Ada sesuatu yang salah
Kini sudah tidak lagi
Ada hal kosong
Yang menghilang

Dulu dalam kenangan
Jika tertawa karena kalian
Tawa untuk kalian
Jika menangis pun karena kalian
Tangis untuk kalian

Ada apa ini?
Kapan terjadi?
Mengapa begini?
Kenapa tak bisa lagi?
Bagaimana akan kembali?

Sungguh aneh
Terasa jadi berubah
Bagian yang melupakan kalian
Tenggelam di kesibukan harian
Lupa kalian

Terngiang pesan sang utusan
Rasulullah yang mulia
Terdera lecut rasa malu
Bukanlah termasuk bagiannya
Yang tidak memikirkan kalian

Tertawa, menangis, memikirkan lagi
Ingin menjadi bagian dari kalian
Selalu dan terus begitu
Hingga nanti sekalian
Karena dengan kalian rasaku terisi

Nor Aniyah
Kandangan (KalSel), 23/08/2016

"Kebenaran Tak Akan Diam"

Kepada para pembungkam
Aku akan menyatakan kalam
Aku ingin menuliskan
Membuat sebuah pernyataan

Kau melarang aku mengungkapkan
Memaksaku untuk melakukan
Ini sungguh mustahil kulakukan
Kenapa pula harus kulakukan?

Aku akan tetap menegaskan
Aku tak mau didiktekan
Meski kau melarang seribu kali
Aku hanya taat aturan Ilahi

Wahai para pembungkam
Kau tak bisa menyuruhku diam
Karena kutetap akan bicara
Kenyataan harus terindra oleh semua

Kebenaran sudah di permukaan
Tak akan mampu disembunyikan
Segenap mata mampu menangkap
Setiap hal itu segera terungkap

Untuk para pembungkam
Tak kubiarkan bertebaran hal lalim
Aku akan tetap membuka terang
Demi terbitnya fajar gemilang

Nor Aniyah
Kandangan (KalSel), 23/08/2016

Senin, 22 Agustus 2016

Tujuh Puluh Satu Tahun Merdeka (Katanya)

Tujuh Puluh Satu Tahun Merdeka (Katanya)

Oleh Eva Ummu Salwa

71 tahun kita merdeka. Jika manusia itu sudah terkategori  lansia. Semakin menua, harusnya kian peka. Tapi apa mau dikata? Kenyataan berbicara. Bangsa ini tak pernah belajar dari kesalahan mereka. Berkali-kali didera penyakit yang sama. Namun tak kunjung jera dan mencari obat patennya. Selalu pakai obat palsu oplosan dari Asing yang membikin euforia.

Tak perlu data statistik atau penelitian ilmiah berlapis-lapis untuk  membuktikan betapa bangsa ini belum merdeka. Belitan penjajah masih membelenggu leher, mematikan potensi bangsa.

Belum lupa kita dengan tragedi penggusuran dimana-mana, reklamasi pulau semena-mena, orang asing bikin kantor kedubes seenaknya, pesawat militer asing lewat tanpa izin pun dimaafkan begitu saja, pulau-pulau disewa dan dijual ke asing atas legalitas negara.

Katanya bangsa ini negara kaya, melimpah dengan sumber daya, kenyataannya rakyat banyak jadi kuli di kampung sendiri. Katanya negeri yang rakyatnya adem tenteram, tapi yang tampak adalah kemiskinan merebak, pengangguran membludak, industri dalam negeri sekarat, kekerasan marak, anak-anak terlantar, TKW  terdampar tanpa perlindungan, dan keluarga retak.

Belum lagi peningkatan hutang negara yang tiada habisnya. Pantas leher ini rasa dicekik. Boro-boro mngulurkan bantuan kemanusiaan pada sesama muslim tertindas di negara lain, pada rakyat sendiri pun pelit. Buktinya biaya pendidikan dan kesehatan mahal. Tarif listrik dan bbm tiap tahun naik. Subsidi gas dan pupuk dicabut. Jalan-jalan dan jembatan rusak bertahun-tahun tak dilirik.

Kok bisa begitu? Miris, miris.

Tampaknya, mental terjajah yang diwariskan sejak zaman penjajahan Belanda telanjur mendekam di benak penguasa kita. Malas mikir, berharap belas kasihan pada dunia. Cari muka menghiba-hiba agar diakui Amerika dan negara-negara satelitnya. Selalu merasa tidak mampu menangani masalah sendiri dan melemparkan tanggungjawab pada rakyat yang dilegitimasi oleh undang-undang bernafas neolib.

Sungguh kita belum merdeka.

Harus ada revolusi mental di benak bangsa ini dalam memaknai merdeka. Perlu reset ulang, dari mental terjajah ke mental merdeka. Namun jelas mesti dipahami dulu, hakikat merdeka itu apa. Tentu harus ada batasan, supaya tidak bias dengan makna kebebasan, bukan?

Dikutip dari web official yuk ngaji, ternyata merdeka hakiki bersumber dari fitrah sejati, bahwa manusia tak layak menghamba pada makhluk, tapi hanya menghamba kepada Al Khaliq.

Dialah Allah SWT, Sebagai Yang Mencipta, tentu Dia-lah yang paling tahu tentang apa yang terbaik dan apa yang terburuk bagi ciptaan-Nya. Tentang pemilikan dan penguasaan Allah terhadap segala sesuatu, Allah berfirman:

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ

Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan. (QS. Ali Imrân/3: 109)
Sebagai milik Allah, maka –suka atau tidak suka—semuanya pasti dikembalikan dan berserah diri kepada Allah SWT:

وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

“…kepada-Nya-lah berserah diri siapa saja yang ada di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali ‘Imrân/3: 83)

وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ “

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”(QS. Hûd/11: 123)

Makna kalimat pasif  "dikembalikan" karena memang semua persoalan tanpa kecuali, pasti akan dikembalikan atau dipaksa untuk kembali kepada Allah Sang Pemilik & Sang Penguasa (al-Malik). Sebab itulah maka  tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali berserah diri secara mutlak kepada Allah SWT.

Atas dasar ini pula, manusia tidak dibenarkan memisahkan aktivitas hidupnya, sebagian untuk Allah dan sebagiannya lagi untuk yang lain. Semuanya harus total dipersembahkan hanya kepada Allah SWT:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Pemelihara alam semesta.“ (QS. Al-An‘âm/6: 162).

Jadi jelas, merdeka hakiki bersumber dari fitrah sejati, bahwa manusia tak layak menghamba pada makhluk, tapi hanya menghamba kepada Al Khaliq Al Mudabbir. Saatnya gelorakan semangat revolusi mental dari terjajah menuju mental merdeka yang hakiki. Agar seluruh persoalan bangsa ini bisa dipecahkan secara mandiri dari sumber yang pasti, yaitu Al-Khaliq.

Merdeka.

Eva, Kandangan, Kalsel, 18 Agustus 2016

Deep Writing

Deep Writing *)

Tulisan ini terinspirasi dari materi yang pernah disampaikan Sang Mentor gila baca, Mas Nafiudin. Beliau menekankan pentingnya deep reading (membaca secara serius, pen.) bagi seorang penulis. Nah, di sinilah saya tergelitik untuk menulis tentang deep writing (menulis secara serius, pen.).

Pentingnya deep reading dilatarbelakangi adanya kesulitan orang untuk mengingat apa yang telah dibaca. Semua itu terjadi karena kebiasaan membaca secara sekilas, sehingga apa yang kita baca tidak langsung tersimpan di memori. Membaca di internet, status dan pesan pendek dan sebagainya, itulah yang menjadi faktor penghambat deep reading. Hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan aktifitas menulis. Karena pada era digital sekarang ini, hampir setiap kita senang menulis, yang paling sering adalah menulis pesan dan status di media daring. Tetapi, mungkin hanya sedikit di antara kita yang bisa menuangkannya menjadi sebuah tulisan utuh. Mengapa? tentunya bukan karena kita tidak bisa menulis, tetapi hanya karena belum terbiasa melakukan deep writing.

Padahal, di antara ribuan pesan dan status yang pernah kita tulis, pasti sebagiannya ada yang bermanfaat untuk orang banyak. Sayang sekali jika ia dibiarkan berlalu begitu saja. Oleh karena itu, setelah terbiasa menulis apapun setiap hari, kita bisa up grade diri kita dengan melakukan deep writing.

Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa membantu kita melakukan deep writing, yaitu :

1) Sediakan waktu luang.
Menulis secara serius tanpa waktu luang tentu agak susah, terutama bagi para pemula. Meskipun bagi para penulis mayor bisa jadi merupakan sesuatu hal yang mudah. Waktu luang yang dimaksud tidak mesti waktu khusus, meskipun itu lebih dianjurkan. Di sela-sela waktu luang ketika bekerja, atau sembari menunggu masakan matang juga bisa. Yang penting, kita sejenak mengkhususkannya untuk menulis. Biar saja barang sepuluh menitan, tidak menjadi masalah. Minimal kita bisa menuangkan sebuah kerangka. Pada waktu yang lain, bisa kita kembangkan menjadi sebuah tulisan utuh.

2) Bebaskan diri sejenak dari akifitas online.
Supaya serius menulis, lepaskan dulu gadget anda. Jika pun anda menggunakan android untuk menulis, offline-kanlah terlebih dahulu. Curahkanlah dulu semua pikiran pada apa yang anda tuliskan. Tentunya, sesuai kerangka yang telah anda buat. Jika tulisan berupa opini, sesuaikanlah dengan kerangka opini. Mulai dari fakta pengantar, masalah, solusi masalah dan ajakan untuk mengikuti solusi yang anda tawarkan. Adapun jika tulisan berupa cerpen, mulailah menulis sesuai alur cerita, peran, konflik serta penyelesaian konflik yang anda buat.

Aktifitas online bisa memudarkan fokus anda. Dalam pembuatan opini dan artikel, aktifitas online terkadang dibutuhkan untuk memperkaya data dan analisa, tetapi saya tidak menyarankan dilakukan di awal aktifitas menulis. Karena aktifitas itu bisa mengganggu kerangka analisa yang telah anda buat. Bisa-bisa anda malah terbawa dengan alur opini milik orang lain. Begitu pula dalam pembuatan cerpen, yang sangat membutuhkan pelibatan hati dan perasaan mengolah kata-katanya. Tentunya semua itu akan terganggu dengan aktifitas online.

3) Khusus opini dan artikel, sertakan fakta dan data yang relevan.
Menyertakan fakta dan data dalam sebuah artikel dan opini sangatlah penting. Fakta bisa dikutip dari sebuah kejadian heboh, misal ketika kita sedang menulis masalah pergaulan kita bisa menyertakan fakta tentang remaja yang membakar diri karena diputuskan pacar. Sedangkan data tentang aborsi akibat KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan) bisa diturunkan dari data rata-rata tahunan menjadi data rata-rata harian. Misalnya ketika Sdri. Fahira Idris menyampaikan 50 orang meninggal karena miras dalam setiap harinya. Hal itu lebih mengena untuk dibayangkan pembaca dibandingkan data 18.250 orang meninggal dalam setiap tahun.  

4) Gunakan Show not tell, untuk penulisan puisi dan cerpen
Tips ini merupakan salah satu materi di Akademi Menulis Kreatif. Show not tell menggambarkan apa yang dituliskan bukan sekedar menceritakan. Misalnya ketika Hamka bermaksud menyampaikan “Saat kamu kecil, ibumu meninggal karena sakit.” di dalam novel Tenggelamnya Van Der Wicjk, beliau menuliskannya, “engkau masih merangkak-rangkak di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu memasukkan obat ke dalam mulutnya. Nafasnya sesak turun naik, dan hatinya rupanya sangat dukacita akan meninggalkan dunia yang fana ini.”

5) Membaca untuk dapat menulis atau menulis untuk terdorong membaca
Menulis apa yang sudah dibaca atau membaca untuk memenuhi isi tulisan, keduanya sama saja. Kita bisa memilih salah satunya. Untuk pembuatan artikel dan opini kita butuh buku referensi. Perbedaan keduanya terletak pada kutipan. Untuk tulisan artikel kita bisa mengutip buku apa adanya kemudian menyertakan keterangan sumber di catatan kaki. Adapun untuk tulisan tipe opini, apa yang dibaca dari buku referensi dituangkan dengan gaya bahasa sendiri. Tulisan opini pun tidak perlu menyertakan referensinya secara detail sebagaimana artikel.

Sedangkan untuk dapat membuat cerpen yang bersifat fiksi, kita mesti banyak membaca karya fiksi terlebih dulu. Hal ini terkait dengan pembiasaan diri menuangkan tokoh dan konflik. Bahkan di Akademi Menulis Kreatif, diperkenalkan latihan mengubah karya fiksi orang lain menjadi karya fiksi sendiri. Tentunya dengan mengubah tokoh, alur cerita serta endingnya. Namun, semuanya tentu kembali pada gaya menulis masing-masing. Yang pasti, aktifitas membaca dan menulis tak bisa dipisahkan.

Itulah beberapa kiat yang bisa dilakukan untuk membantu kita belajar deep writing. Semoga kiat-kiat sederhana ini dapat bermanfaat. Khususnya kepada para master di Akademi Menulis Kreatif, semoga ilmu yang telah diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat.

(Ary H. Attasiky – Islamic Writer Educator 19 Dzulqo’dah 1437 H)

*) Isi tulisan ini tidak ada hubungannya dengan buku Deep Writing yang ditulis Eric Maisel
     

Sabtu, 20 Agustus 2016

"Hujan di Tengah Hari"

Hujan itu masih tipis
Kala tengah hari naik
Kabarkan musim nan rintik
Gerimis pun mulai singgah
Menyapa kuncup payung basah
Bertarian bersama pelangi siang

Masih terasa kering pelepah
Rumput teki tepian lembah
Seputar dalam sungai desa
Nyanyian sang anak gembala
Takjub nian bermain air
Bersua kolam pematang baru

Gumam meriah tumpah ruah
Melanda hamparan tanah kemarau
Seribu malam mulai menunggu
Pagi bercampur rindu teriakan
Terjawab waktu kemarin usahakan
Janji pelihara menumbuh benih

Liputan hantaran dekapkan hadapan
Tanaman asam halaman menghijau
Posisi miliki asa terdepan
Menampung rembesan kata angan
Tanah resapan melingkup risau
Angin riang menggeraikan dedaunan

Enam bulan bergelut menghadang
Badai berjemur minat tualang
Meski mandi panjang sebentar
Kini serasa lama setahun
Baju tunai kokoh tergelar
Saksi putih telah memihak pilihan

Penuh guratan senyum membayang
Pulih sudah suram duka
Cerah ceria kini jelas tergambar
Pentaskan muka berberkas bahagia
Dekatkan waktu kita untuk menakar
Menyiapkan layar dan terkembang

Nor Aniyah
Kandangan (KalSel), 20/08/2016

"Berair Pikir"

Potongan malam
Pisau tajam
Menggores
Mengulas
Fakta
Data

Arahnya benderang
Menyingkap terang
Tikungan
Jalinan
Jernih
Pilih

Memetik buah
Dalam bedah
Ungkap
Gelap
Berair
Pikir

Kain pandang
Jalan panjang
Tugas
Manis
Jejak
Jarak

Nor Aniyah
Kandangan (KalSel), 18/08/2016

Kamis, 18 Agustus 2016

Para Pahlawan

Tertatih kaki menggusur lelah
Peluh keringat bercucuran sudah
Menyiram luka yang merekah
Melelehkan merahnya darah
 
Meski luka bertambah parah
Para pahlawan tak surut langkah
Angkat senjata usir penjajah
Gemakan takbir, Jihad fi sabilillah
 
Menerjang peluru bertameng dada
Lawan para penjajah durjana
Bebaskan negeri Indonesia
Songsong predikat syuhada

Maut menjemput di pertempuran
Syahadah terakhir terucap lisan
Tersenyum penuh kebahagiaan
Penduduk langit pun memberi sambutan

Wahai para pahlawan
Tekadmu telah terpatri iman
Juangmu berpedoman Al Quran
Bagimu, hanya Allah-lah sebagai tujuan

(Ary H. – 16 Dzulqo’dah 1437 H)

Selasa, 16 Agustus 2016

"Yang Kunanti"

Aku tidaklah menanti
Saat kau mulai mendekat
Menghampiri

Aku tidaklah berpikir
Kau akan coba berusaha
Menegur

Aku tidaklah ingin
Menatap lekat kerling mata
Sinaran

Aku tidaklah kenal
Sebuah kata tentang sebutan
Inisial

Aku hanya kesal
Ini bukanlah tempat perasaan
Sesal

Aku hanya inginkan
Bisa buktikan sanggup miliki
Kesungguhan

Aku hanya jujur
Jangan kecewakan bila kepercayaan
Benar

Aku hanya menanti
Saat kau mengikat niat
Suci

Nor Aniyah
Kandangan (KalSel), 15/08/2016

"Harta di Atas Meja"

Maaf,
Terpaksa ditolak
Kuharus tetap bergiat
Karena bulat berpegang akad

Teratas
Meja usang
Tukang ketik kertas
Lebih asyik ketimbang piknik

Menyimpan
Karunia emas
Menyimpul deret terangsur
Hanya lewat ruang terpendam

Nor Aniyah
Kandangan (KalSel), 13/08/2016

Sabtu, 13 Agustus 2016

Bubble Succes Vs True Succes

Teringat sebuah istilah di dunia ekonomi, Bubble Ekonomi. Sebuah kondisi yang menggambarkan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi bobrok karena hanya ditopang kerapuhan serta ketidakpastian. Sehingga, pertumbuhan ekonominya ibarat seseorang yang meniup bubble gum (permen karet), terus mengembang sampai batas tertentu, lalu meletus seketika.
Bila diukur dengan materi dan jabatan yang dimiliki, tidak sedikit orang yang terkategori sukses di tengah masyarakat. Bahkan kita melihatnya dengan penuh “Wah!”. Namun banyak fakta membuktikan, kesuksesan tersebut pun bisa hanya menjadi gelembung semata. Kesuksesan yang mengandung potensi kehancuran.
Kita mengenal para selebriti seperti Michael Jackson, Marlyn Monroe, Whitney Houstan serta sederet nama tenar lainnya. Dibalik ketenaran dan kekayaannya, hidup mereka berujung pada depresi yang berat. Atau kalangan pebisnis seperti Allen Stanford -pimpinan Stanford Financial-, Bjorgolfur –CEO West Ham United FC, sekaligus orang terkaya di Islandia- serta Alberto Vilar –Investor Amerika yang terkenal dermawan, hidup mereka berujung hukuman karena tindakan kriminal yang dilakukan. Atau kalangan ilmuwan seperti Alan Turing –bapak ilmu komputer modern-, Edwin Armstrong –penemu radio FM-, serta Hans Berger –penemu EEG- serta masih banyak yang lainnya. Hidup mereka berujung pada stress dan bunuh diri. Mereka adalah orang-orang yang tidak betah dengan kesuksesannya. Sebuah bubble succes.
Kaum muslim juga mengenal para penguasa seperti Fir’aun serta Namruz, kekuasaan mereka yang sangat besar hanya berujung pada kebinasaan. Atau kita juga pernah membaca kisah Tsa’labah, yang menjadi lalai ibadah setelah hartanya berlimpah. Tentu, kesuksesan tidak hanya terukur dengan ketenaran, ilmu, harta serta jabatan semata. Bila hanya materi yang dijadikan pengukur kesuksesan, hanya akan mengantarkan manusia pada Bubble Succes.
Tidak menjadikan materi semata sebagai pengukur kesuksesan bukan berarti menafikan kebutuhan manusia terhadapnya. Untuk meraih keseimbangan hidup, nilai materi tetap harus diraih sebagaimana nilai-nilai lainnya, seperti nilai akhlak (seperti kejujuran), nilai kemanusiaan (seperti membantu orang lain) serta nilai spiritual (seperti ibadah). Karena itulah, Islam mewajibkan bekerja dan mencari nafkah.
Namun adakalanya usaha dan hasil tidak selalu berbanding lurus, di sinilah kita penting untuk memahami konsep True Succes (Kesuksesan Hakiki). Sebuah kesuksesan yang posisinya lebih tinggi di atas kesuksesan kita dalam meraih nilai apapun dalam hidup kita.
True Succes (kesuksesan hakiki) dapat diraih tatkala manusia menyertakan ruh dalam peraihan nilai-nilai hidupnya. Ruh berupa kesadaran akan dirinya sebagai makhluk Pencipta. Kesadaran untuk menyertakan ketundukan atas setiap ketetapan serta aturan-Nya. Kesuksesan hakiki akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan dan ketenangan batin. Selalu bersyukur dan semakin dekat dengan Sang Pencipta. Ia akan menjadi pembawa kemaslahatan bagi setiap insan.
Mungkin saat ini kita akan sulit membayangkan, ada seorang yang kehilangan harta, kemewahan, keluarga serta kedudukan. Kemudian ia menjadi seorang yang sangat miskin, hingga sehari makan dan beberapa hari menahan lapar. Bahkan di akhir hayatnya, ia hanya berpakaian kasar. Sehingga ketika hendak dikebumikan, bagian kakinya hanya ditutup oleh rerumputan ikhdzir. Akan tetapi, ia menjadi orang yang sangat sukses dalam hidupnya. Dialah Mush’ab Bin Umair r.a., duta Islam pertama yang berperan dalam mengislamkan Madinah.
Ternyata True Succes bukan hanya diraih oleh orang yang kekurangan harta, ia juga dapat diraih saudagar kaya. Seorang saudagar yang pernah menyumbangkan 700 unta beserta muatannya yang penuh dagangan, 500 kuda serta 1500 kendaraan penuh muatan untuk kepentingan jihad di jalan Allah. Pun menjual tanahnya seharga 40 ribu Dinar (sekitar 98,6 milyar rupiah) untuk dibagikan kepada ummul mukminin dan fakir miskin. Dialah Abdurrahman bin Auf r.a.
Saudagar kaya yang pernah menangis ketika hendak menyantap makanan, selera makannya hilang tiba-tiba seraya berkata : “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai syahid. Ia jauh lebib baik dariku. Ia dikafani dengan selembar kain. Jika ditutupkan ke kepalanya, kakinya kelihatan. Jika ditutupkan ke kakinya, kepalanya kelihatan. Hamzah juga telah gugur sebagai syahid. Dia jauh lebih baik dariku. Ia tidak memiliki kafan kecuali selembar kain. Namun sekarang, kita diberi kekayaan dunia begini berlimpah. Aku khawatir, ini adalah pahala kebaikan yang disegerakan.” Masya Allah! Ia benar-benar saudagar super kaya yang selalu sadar akan posisinya sebagai makhluk Allah Swt.
Kesuksesan hakiki pun telah diraih oleh seorang penguasa. Seorang kepala daerah yang diberi tunjangan senilai 4000-6000 dinar dalam setahun (821 juta s.d. 1,2 milyar rupiah perbulan), tetapi ia tak mengambilnya sedikit pun bahkan membagikannya kembali. Ia menghidupi dirinya dengan menganyam keranjang dari daun kurma. Ia membeli daun kurma seharga satu dirham, dibuat keranjang lalu dijual seharga tiga dirham. Satu dirham digunakan sebagai modal, satu dirham untuk nafkah keluarga dan satu dirham lagi untuk sedekah. Dialah Salman Al Farisi. Putra bangsawan Persia yang rela meninggalkan semua kemewahannya, lalu berjuang mencari kebenaran hakiki dari satu guru ke guru yang lain, hingga akhirnya ia dipertemukan dengan Islam.
Para bangsawan pun tak kalah ketinggalan, sejarah mencatat seorang bangsawan yang mampu meraih True Succes dalam hidupnya. Dialah Usaid Bin Hudhair r.a. Bangsawan pembesar yang penuh kezuhudan. Egonya tertundukkan iman dan ketaatannya kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Dia menjadi seorang penengah di tengah perdebatan sengit para sahabat di Saqifah Bani Sa’adah. Pasca wafat Rasulullah Saw, sekelompok Anshar yang diketuai Sa’d Bin Ubadah menuntut bahwa merekalah yang berhak menduduki kursi khalifah.
Di tengah perdebatan itu, Usiad Bin Hudhair berkata : “Kalian tahu bahwa Rasulullah berasal dari kaum Muhajirin. Karena itu, Khalifah yang menggantikannya juga semestinya dari Kaum Muhajirin. Kami Kaum Anshar adalah para pembela Rasulullah. Karena itu, hari ini kami juga harus menjadi pembela Khalifah yang menggantikan Rasulullah.” Hingga ketika Usaid Bin Hudlair wafat, para pengantar jenazah mengulang-ulang sabda Rasulullah Saw, “sebaik-baik laki-laki adalah Usaid bin Hudhair.”
Begitu pula kesuksesan hakiki dapat diraih oleh seorang prajurit, mantan budak belian yang tidak jelas siapa ayahnya. Sehingga namanya hanya dikaitkan dengan orang yang telah memerdekakannya, dialah Salim Maula Abu Hudzaifah (Salim mantan budak Abu Hudzaifah). Ketaqwaan dan keshalihannya telah mengangkatnya menjadi tokoh Islam terkemuka. Seorang prajurit yang berani menegur tegas panglima besar Khalid  Bin Walid, ketika ia menyelisihi perintah Rasul Saw. Saat Rasulullah mengirim beberapa pasukan kecil untuk berdakwah (bukan untuk berperang) ke kampung-kampung Arab di sekeliling Mekkah, terjadi insiden yang menyebabkan penggunaan senjata dan peperangan. Salim terus menerus mengingatkan Khalid, bahkan tiada henti-hentinya memohon ampun kepada Allah Swt, “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari perbuatan yang dilakukan Khalid.”
Pilihan sikapnya yang tegas untuk mengingatkan Khalid ternyata tepat. Sikap Salim inilah yang meredakan kemarahan Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw bertanya mengenai  insiden peperangan tersebut, “Adakah yang menentangnya (menentang Khalid, pen.)?”. Kemudian para sahabat menjawab, “Ada, Salim Maula Abu Hudzaifah.” Sungguh ia seorang rakyat, prajurit serta mantan budak belian yang sadar akan posisinya, bahwa kemuliaan seseorang hanyalah terletak pada ketaqwaannya.
Sebelum meninggal dunia, Umar r.a. pernah berpesan, “Seandainya Salim (Maula Abu Hudzaifah, pen.) masih hidup, pasti aku serahkan urusan Khalifah kepadanya setelah kematianku.”
Itulah sedikit kisah True Succes yang telah diraih manusia, siapa pun dia serta di manapun posisi dan kedudukannya. Mereka adalah para manusia mulia yang tidak lain adalah sahabat dan binaan Rasulullah Saw. Mereka begitu mengagumkan hingga terlihat laksana manusia fiktif dalam dongeng sebelum tidur. Seolah tak pernah ada manusia-manusia seperti itu. Para manusia yang mampu meraih berbagai nilai dalam hidupnya dengan tetap membawa ruhnya, yakni kesadaran akan dirinya sebagai makhluk Allah Swt. Semoga kita dapat mengikuti jejak-jejak mereka, menjadi orang-orang sukses meraih berbagai nilai dalam kehidupan, seraya diiringi kesadaran bahwa kita adalah hamba Allah Swt. Aamiiin. (Ary H. – Penulis di Akademi Menulis Kreatif)

Daftar Bacaan :
  •  The Model. Nopriadi Hermani, Ph.D.
  • Rijalun Haula Rasulillah (ed. terj.). Khalid Muhammad Khalid

Jumat, 12 Agustus 2016

"Umi"

Umi
Ijinkan kumendekati
Meski dengan terus usil ulahku
Dan izinkanku tetap memanggilmu

Umi
Meski bukan lewat rahimmu
Aku berada di dunia ini
Tapi lewat tanganmu
Aku berada di jalan  dakwah ini

Nor Aliyah
Kandangan, (Kalsel) 09/08/2016

"Pena Dakwah"

Syair peradaban
Terang menuju kebangkitan
Pena ajaib terangkat
Beramal dari hati dan pemikiran
Terimalah lembar kosong untuk kau tulisi
Runcingkan harapan
Pegang hati dengan murni
Rautlah
Sambung dan teruskan
Hapus kesalahan dahulu
Bersama melukis garis lurus
Ambillah bagianmu dan sebarkan
Sebanyak bilangan cinta dan keikhlasan

Nor Aliyah
Kandangan (Kalsel), 10/08/2016

Kamis, 11 Agustus 2016

"Membenci untuk Merindukan"

Aku membenci kelupaan
Untuk mengingatkan masa kegemilangan

Aku membenci ketakutan
Untuk merengkuhkan batang kesahajaan

Aku membenci keterpurukan
Untuk meletakkan hisab keadilan

Aku membenci keterjajahan
Untuk membaharukan pesan kebangkitan

Aku membenci kesombongan
Untuk membelakan syariat kerahmatan

Aku membenci keangkuhan
Untuk merindukan diterapkan keagungan

Nor Aniyah
Kandangan (KalSel), 11/08/2016

Selasa, 09 Agustus 2016

"Saudara yang Istimewa"

Seuntai canda waktu rehat
Memboncengi obat resah
Karenamu aku mampu sederhana

Saat aku mematut cermin
Berkaca mendapati bayanganmu
Ada bukti mirip pembelahan yang adil

Kenangan jernih masa bagian itu
Dulu kita satu di sebuah dinding
Menghimpun suasana kepingan sel kecil

Kita tak selalu berdekatan
Namun tak pernah merasa berjauhan
Ada janji layaknya pengikat jiwa kita

Kita menguatkan keyakinan
Pokok cita menggantung asa
Kita sanggup mengarungi hamparan dunia

Interaksi masa ada suka ada amarah
Aspek yang diidentikkan sebagai berdua
Ciri beda pengaruh fitrah tiada memisahkan

Kita tertawa bermain melepas duka
Kadang menutup sempurna bertangisan
Kita pun saling memberi dukung selaras mimpi

Saudaraku yang istimewa
Ikatan denganmu membesarkan kesamaan
Kita adalah pengibar bendera generasi terbaik

Nor Aniyah
Kandangan (KalSel), 09/08/2016

"Tugas Kata Hubung"

Kala memulai masalah ucapan
Dan kau tercengang memikirkan
Lalu berkecamuklah perang perasaan
Untuk mencari cercah kilauan
Menemukan hilang dalamnya peradaban
Itulah tugas yang tengah dilupakan
Akhirnya, kita sadar membangunkan
Membina kembali hubungan keumatan

Nor Aniyah
Kandangan (KalSel), 08/08/2016

"Kau Masih Mengingatku"

Aku senang
Kau masih mengingatku

Mengungkapkan dalam kenang
Dalam serangkuman mengenaliku

Di antara tajuk rindang
Aku masih terlihat olehmu

Aku pun ingin sama mengulang
Mendoakan curahan kebaikan untukmu

Nor Aniyah
Kandangan (KalSel), 07/08/2016

"Serius"

Dinding penuh tempelan
Merasa kehebatan jiwa
Santai tapi tetap terarah

Kutepati capaian tugas ini serius
Mencetus tuang bara juang
Menuliskan hingga titik terakhir

Dengan penuh aku percaya
Mimpi itu akan terpimpin
Menuju rintisan perwujudan

Nor Aniyah
Kandangan, (KalSel), 06/08/2016

Minggu, 07 Agustus 2016

Agar Buku Tak Sekedar Jadi Koleksi

sumber gambar : bruziati.files.wordpress.com


Membeli buku tetapi tak dibaca, duh sayang sekali jadinya. Bisa jadi karena semangat membeli buku belum sebanding dengan semangat membacanya. Sehingga buku yang dibeli hanya sekedar menjadi koleksi. Buku di rak tertata rapih, indah dipandang namun tidak terjamah. Padahal jika dijumlah dengan rupiah, tentu tidaklah murah.
Tidak semua orang senang membeli buku, tetapi sungguh sayang jika hanya sekedar jadi pajangan. Karena itulah, koleksi buku kita mesti dihidupkan. Selain agar uang yang telah dikeluarkan tidak menjadi percuma, menghidupkan buku koleksi juga bisa menjadi ladang amal jariyah.
Supaya buku yang dibeli tak sekedar menjadi koleksi, ada beberapa tips yang bisa Anda coba.
1)   Dari yang Disukai Menuju yang Dibutuhkan
Tak sedikit dari kita lebih mengutamakan buku yang dibutuhkan, meskipun tidak disukai. Padahal, pertimbangan tersebut tidak sepenuhnya benar. Selain hanya akan menambah tumpukan buku di rumah, hal itu juga bisa mendegradasi minat baca keluarga. Sebaiknya, pilihlah genre-genre buku yang disukai anggota keluarga, meskipun tentunya tetap dengan seleksi akan kandungannya. Jika kita suka novel, utamakan membeli buku-buku novel. Karena hal itu akan membuat kita semangat membacanya. Saat ini, banyak sekali pilihan-pilihan novel-novel dengan konten islami dan berkualitas.
Setelah semangat membaca kita terjaga, barulah kita membeli buku-buku yang dibutuhkan. Apa prioritasnya? tentunya, visi dan misi pribadi dan keluarga-lah yang dijadikan panduan.
2)   Ketahuilah Isi Buku Sebelum Anda Membelinya
Seringkali judul buku dibuat untuk menarik minat konsumen. Padahal isinya belum tentu sesuai harapan. Karena itulah penting bagi kita untuk mencari informasi tentang isi buku sebelum membelinya. Pastikan isi buku yang kita beli sesuai dengan yang kita bayangkan. Caranya bisa dengan membuka daftar isinya, atau membacanya dengan acak mulai halaman depan, tengah lalu belakang. Jangan sungkan-sungkan untuk minta ijin kepada pemilik atau penjaga toko, supaya kita bisa membuka segelnya. Tentu dengan alasan untuk mengetahui isinya sebelum kita membelinya. Jika tidak diperbolehkan, kita bisa membaca penjelasan ringkasan isi yang biasanya terdapat pada bagian belakang covernya, atau bisa juga dengan menjelajahi dunia maya.  Jangan sampai kita kecewa ketika sudah membelinya, pas sampai di rumah, eh isinya ternyata jauh dari  yang kita duga.  
3)   Bukan Sekedar Murah
Siapa sih yang tidak ingin membeli barang dengan harga murah? semuanya pasti suka. Tapi perlu diingat, bahwa harga murah bukan berarti gratis atau tanpa rupiah. Buat apa kita membayar sesuatu yang dipastikan tidak akan bermanfaat ke depannya. Meskipun bisa saja buku yang murah lebih bermanfaat dibandingkan buku yang mahal. Tetapi jangan sampai buku murah tersebut bukan buku yang disukai, serta bukan pula yang dibutuhkan. Akhirnya, berakhir di rak sebagai pajangan.
Supaya tidak terjebak promo buku murah, listlah daftar buku yang ingin dibeli dan dibutuhkan. Sehingga ketika ada promo buku murah, kita bisa menyeleksi buku mana saja yang masuk dalam target pembelian.   
4)   Buatlah Program Membaca di Rumah
Punya koleksi satu buah buku yang dibacakan kepada anggota keluarga, jauh lebih bermanfaat dibandingkan punya koleksi segudang tetapi hanya jadi pajangan. Karena itulah, carilah waktu luang keluarga untuk berkumpul dan membaca buku bersama. Sebagai perangsang minat, bacakan satu buku secara rutin. Utamakan buku-buku kisah-kisah yang ringan, bukan buku-buku yang bersifat pemikiran.  
Bagi yang sudah berkeluarga, program membaca di rumah juga bisa dibuat dengan sayembara. Kita bisa menyiapkan hadiah menarik untuk anak-anak kita yang menamatkan buku bacaannya. Tak perlu mahal-mahal. Malahan jika anak sudah keranjingan membaca, bisa jadi mereka minta buku bacaan sebagai hadiahnya.
5)   Tak Perlu Alergi dengan Berantakan
Seringkali kita tidak terbiasa dengan kondisi berantakan. Bahkan terkait buku sekalipun. Seolah-olah buku tak terjamah di rak, jauh lebih indah daripada berantakan di lantai dan kasur. Padahal, bukankah kita membeli buku untuk dibaca? Bila demikian, biarlah para anggota keluarga menikmati cara membacanya masing-masing. Karena bisa jadi itulah cara mereka menikmati aktifitas membaca. Ada lho, orang yang buku bacaannya harus tetap tersimpan di tempat terakhir ia membacanya. Bahkan jika kita memindahkannya, selera bacanya pun lalu menghilang.
6)   Menulislah
Membaca dan menulis tak bisa dipisahkan. Jika mentok membaca karena malas, menulislah. Koleksi buku-buku di rumah bisa terbagi dua, yakni yang disukai atau  yang dibutuhkan. Biasanya kita berkutat pada buku-buku yang kita sukai saja. Padahal kita seringkali mengoleksi juga buku-buku yang kira-kira akan dibutuhkan, biasanya buku-buku yang dibutuhkan masuk dalam kategori buku rujukan. Dengan aktifitas menulis, koleksi buku rujukan tersebut akan menjadi hidup. Menulislah tentang isu yang aktual, karena temanya pasti akan berganti dan beragam. Dengan demikian, koleksi buku-buku kita akan terjamah semua. Bila sedang ramai isu tentang menikah dini, minimal buku-buku fikih wanita, psikologi, pergaulan Islam, serta pendidikan anak akan keluar dari rak kita. Tapi, rujukan kan bisa kita cari juga via internet? Bagi penulis, merujuk pada buku sumber jauh lebih memuaskan dan membahagiakan.
Itulah beberapa tips yang bisa dicoba untuk menghidupkan koleksi buku di rumah. Beberapa tips tadi hanyalah eksplorasi penulis. Tidak menutup kemungkinan, Anda pun memiliki tips-tips lain yang bisa diterapkan, bahkan lebih sesuai dengan keadaan di rumah. Ala kulli hal, Semoga tips-tips ini aplikatif dan bermanfaat. Aamiin.
(Ary H. – Islamic Writer Educator / 5 Dzulqo’dah 1437 H – 8 Agustus 2016)  

Haruskah Nikah Dini?

Wow, surprise.

Itulah reaksi pertama saya, begitu baca berita pernikahan dini seorang ustadz muda. Hingga kini beritanya booming di mana-mana. Di-up semua media. Dan meruaplah pro-kontra. Itu sudah pasti.
Di negeri yang kental liberalisasi ini, semua berhak memberikan pendapatnya. Dibedahlah itu fakta dari berbagai sisi.

Bagi kontra nikah dini, muncul kekhawatiran dengan diblow-upnya berita pernikahan ini. Kuatir menginspirasi. Maka diungkaplah berbagai data statistik agar tercapai justifikasi.

Kabarnya, nih, hasil survey Plan Indonesia sebanyak 44% pelaku pernikahan dini mengalami KDRT.  Kesimpulan pun mengarah pada perlunya merevisi usia pernikahan perempuan yang selama ini timpang dibandingkan laki-laki sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan saat ini.

Hanya saja, perlu dipertanyakan juga. Apakah KDRT penyebabnya adalah semata-mata usia? Kalau usia hanyalah satu dari sekian faktor, mengapa solusinya mentok di revisi usia perkawinan? Bagaimana dengan stress masalah ekonomi, tekanan kriminalitas, godaan pornografi-pornoaksi yang melibas semua umur, narkoba/miras dan lain-lain?

Terus, diungkap juga, kabarnya di provinsi Jawa barat Barat tingkat perceraian sangat tinggi dari tahun ke tahun. Perbandingan pada tahun 2013 hingga Oktober 2014  mengalami tingkat angka perceraian hampir mencapai 10% dibanding jumlah pernikahan. Artinya, peningkatan angka perceraian cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian dikatakan Kepala Subbag Informasi dan Humas Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jabar, Abdurrahim, pada Seminar Pendewasaan Usia Perkawinan di Bandungbeberapa waktu lalu. Lebih lanjut Abdurrahim menyatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah pernikahan usia dini.

Tuh, kan, hanya salah satu penyebab. Bagaimana dengan penyebab lainnya? Saya jadi mikir sendiri, yang bermasalah itu usianya atau pendewasaannya?

Lalu ada lagi data dari riskesdas 2010, jumlah kematian ibu karena terlalu muda melahirkan sebanyak 2,6 %.

Lalu, yang 7,4% nya gimana? Terus penyebab kematian ibu melahirkan di usia muda, apa sudah ditelusur baik-baik? Jangan-jangan karena faktor kurang gizi, kurang pengetahuan, tak punya duit buat ongkos bersalin, atau prosedur bpjs yang bebelit-belit. Bukan semata-mata tersebab usia.

Lalu, yang melahirkan di luar nikah, apa udah dimasukin ke data statistik? Ternyata banyak juga tuh abg melahirkan yang sehat-sehat saja. Bahkan melahirkannya ada yang di dalam WC, tanpa pertolongan memadai.

Saya di sini cuma mau obyektif saja melihat fakta.

Nah, bagi yang pro-nikah dini, ada juga data tandingannya. Tuh, lihat, tingginya angka gaul bebas di kalangan remaja. Yang kena Hiv/Aids ternyata kebanyakan adalah remaja. Belum lagi married by accident. LGBT? Oh no, remaja juga ketularan gaya gaul jenis ini.

Hasil penelitian Yayasan Kesuma Buana (dalam http:/www.acicis.murdoch.edu.au, diakses pada 10 Maret 2012) “menunjukkan bahwa sebanyak 10.3% dari 3,594 remaja di 12 kota besar di Indonesia telah melakukan hubungan seks bebas”, berdasarkan penelitian di berbagai kota besar di Indonesia, sekitar 20 hingga 30 % remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks bebas. Celakanya perilaku seks bebas tersebut berlanjut hingga menginjak ke jenjang perkawinan (doyan selingkuh maksudnya). Ini di mungkinkan karena longgarnya kontrolan orang tua pada mereka.

Pakar seks juga spesialis Obstetri dan Ginekologi Dr. Boyke Dian Nugraha di Jakarta mengungkapkan, dari tahun ke tahun data remaja yang melakukan hubungan seks bebas semakin meningkat. Dari sekitar 5 % pada tahun 1980, menjadi 20 % pada tahun 2000. Gunawan, (2011:52)

Data tersebut sejalan dengan survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2010, 52 persen remaja Medan sudah melakukan seks bebas yang berdampak kepada terjangkitnya penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS), (dikutif dari www.kompas.co.id diakses pada tanggal 20 Maret 2012). Ini artinya setiap tahunnya fenomena seks bebas atau perilaku sek pra-nikah yang dilakukan remaja terus mengalami peningkatan bahkan menambah korban penularan PMS (penyakit menular seks).

Perilaku seks bebas yang melanda remaja sering sekali menimbulkan kecemasan para orang tua, pendidik, pemerintah, para ulama dan lain-lain. Untuk itu, perlu dilakukan penanganan sedini mungkin untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti aborsi. Aborsi adalah dampak paling berbahaya dari seks bebas, yang dari tahun ke tahun semakin banyak dilakukan remaja di indonesia Sebanyak 62,7% remaja SMP tidak perawan dan 21,2% remaja mengaku pernah aborsi.Perilaku seks bebas pada remaja tersebar di kota dan desa pada tingkat ekonomi kaya dan miskin.

Departemen kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30% dari total 2 juta kasus dimana sebagian besar dilakukan oleh dukun. Dari penelitian yang dilakukan PKBI tahun 2005 di 9 kota mengenai aborsi dengan 37.685 responden, 27% dilakukan oleh klien yang belum menikah dan biasanya sudah mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara sendiri dengan meminum jamu khusus. Sementara 21,8% dilakukan oleh klien dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani permintaan aborsinya.

Kalau dilihat-lihat, dibanding-banding, kok kayaknya lebih parah data akibat pergaulan bebas remaja, ya? Jadi kalo kita mau ngerem nikah dini, apa kita punya solusi buat persoalan gaul bebas dan kawan-kawannya?
 
Realitas berbicara, arus kebebasan sudah merajalela. Kebebasan ekspresi dan berpendapat, menguar, mencuci otak remaja. Filter diserahkan ke diri masing-masing.

Peran negara? Tukang nyalahin orangtua. Bikin kebijakan semena-mena. Minta dukungan sana sini supaya dapat dukungan untuk memberantas nikah dini. Tapi tidak bertanggungjawab membendung arus kebebasan. Tak memberi batasan jelas makna pornografi dan pornoaksi. Katanya sih takut melanggar HAM. Komitmen minimalis memblokir situs porno yang bikin narkolema. Belum lagi sistem pendidikan yang tidak mendewasakan remaja. Disuruh mikir studi terus biar cepat dapat kerja. Ujung-ujungnya, keluarga yang dituntut membentengi remaja.

Lah, berapa persen sih keluarga yang paham untuk membentengi anaknya dari pengaruh merusak? Dan seberapa kuat mereka membendung arus yang dibuka kerannya, justru oleh penguasa?

Geleng-geleng kepala saya.

Kembali ke data statistik kontra nikah dini tadi. Jika persentasi kemudharatan yang terjadi oleh nikah dini, toh, ternyata didominasi oleh faktor di luar usia, maka solusi seharusnya diarahkan ke sana.

So, dengan berbagai keruwetan ini, haruskah nikah dini diperdebatkan?

Pe-er ke depannya bagi yang terinspirasi (kayaknya saya, nih), kudu nyiapin anak sebaik-baiknya. Kalo anaknya perempuan, disiapin jadi calon ibu rumah tangga yang baik dan benar, upps, shalihah maksudnya. Nah, kalo laki-laki, siapin jadi imam rumah tangga yang shalih kayak Alvin. Plus satu lagi yang tak kalah penting, jadikan dia generasi teladan, pioner, perubah menuju peradaban gemilang.

#Eva, Kandangan, Kalsel, 7 agustus 2016

Kamis, 04 Agustus 2016

Kutulis Sang Mantan di Atas Bis

Merasakan dikejar-kejar deadline, itung-itung merasakan gaya hidup para penulis terkenal. Deadline pengumpulan sayembara antologi cerpen di Akademi Menulis Kreatif tinggal menghitung hari, yaitu 2 Agustus 2016 jam 24.00 Wib. Padahal saat aku tertidur dalam lelapnya malam, waktu terus berlalu. Hingga saat aku terbangun menjelang shubuh, sudah berpijak pada Selasa tanggal 26 Juli 2016.

Kepala penuh dengan target pribadi dan kerjaan. Ingin menyelesaikan buku perdana, Menulis Perjuangan dan Dakwah (MPD) sebelum Idul Adha, akreditasi di dua sekolah yang berbeda, persiapan mengajar di tahun pelajaran yang baru, serta jarak sekolah yang membutuhkan waktu tempuh sekitar 40 menit dengan sepeda motor. Tapi, berhubung sepeda motor lama sudah terjual, yang baru pun belum ada, terpaksa harus naik bis dengan waktu tempuh 1 jam 15 menit.
Ide-ide terus berkelebat liar di kepala. Rekan-rekan penulis pada curhat terkait deadline yang tinggal menghitung hari, padahal masalah yang sama pula aku hadapi. Tetapi, sempat terpikir juga mengeluarkan cerpen cadangan untuk mengejar deadline. Cerpen “Maafkan Aku Sahabat!” yang telah diupload di blog goresanpenaamk.blogspot.com, itulah cerpen cadanganku untuk sayembara antologi cerpen #2 di AMK. Namun supaya tetap semangat, kuanggap cerpen itu tak ada di folder cerpenku.

Bis AC Ekonomi Tasik-Lebak Bulus, itulah bis yang biasa aku tumpangi untuk sampai ke sekolah. Sekolahku terletak di ujung utara Kab. Tasikmalaya. Aku memilih bis tersebut karena ongkosnya tidak terlalu mahal serta tempat duduk yang nyaman. Tak perlulah aku menuliskan nama PO-nya, ntar disangka iklan.

Orang kepepet biasanya menjadi kreatif, memang begitulah adanya. Tiba-tiba terpikir di kepalaku untuk menulis di atas bis, seraya mengisi aktifitas selama perjalanan. Awalnya sempat ragu, karena beberapa kali aku mencoba mengisi aktifitas di atas bus dengan membaca, kepalaku langsung pusing. Aku pun mencobanya tidak hanya sekali, serta dengan bacaan yang berbeda-beda. Tapi, tetap saja, tidak sampai satu halaman, pusing sudah mendera.

Akhirnya kucoba membuka netbook kecilku. Kubuka file draft buku MPD dan draft cerpen Sang Mantan. Kalimat demi kalimat aku tuliskan untuk menyusun paragrap. Paragrap demi paragrap aku tuliskan untuk mengisi setiap halaman yang kosong di Ms. Word. Tak terasa, satu jam berlalu. Alhamdulillah, tak ada pusing mendera sedikit pun. Tiga halaman kuarto penuh aku tuliskan selama 1 jam, bahkan sudah mau masuk halaman ke-empat. Kondisi bis yang kosong dan luang sangat mendukung. Di antara tatapan kaca bis yang bersih, serta kelebat kendaraan yang berpapasan, ada kebebasan menangkap setiap ide yang lewat.

Alhamdulillah, Sang Mantan pun bisa dilanjutkan beberapa halaman. Begitu pun ide-ide untuk mengisi draft buku MPD pun bisa dituangkan. Ternyata, menulis bisa di mana saja.
Bisa di sela-sela pekerjaan, seperti saat ini. Bisa juga di antara tangisan anak-anak, atau di antara deru dan debu jalanan. Bahkan bisa juga di sela-sela jemput istri dan anak. Ah, tentu tak perlu muluk-muluk. Tulisan ringan seperti ini saja mungkin dapat bermanfaat dan diambil
pelajarannya. aamiiin.

(Ary H.- 5/8/2016. Curhat Fastwriting, menjelang berangkat perjalanan dinas)

 

Rabu, 03 Agustus 2016

Merdeka!!! Merdeka!?? Merdeka???

Emasku digondol
Hutanku diangkut
Gas alamku diambil
Sumber daya negeriku, milikku?

Merdeka!!?
Rakyat tercekik pajak
Utang makin membengkak
Investasi berwujud imperialisasi
Rakyat negeriku, pribumikah?

Merdeka!??
Hura-hura jadi budaya
Terlena pesta gembira
Liberalisme menggila
Kapitalisme menggurita

Merdeka???
Aturan Allah dinista
Aturan asing dimulya
Manusia injak manusia
Laksana hewan berhukum rimba

Merdeka??? Merdeka???

(Ary H. - 29 Syawal 1437 H)

Senin, 01 Agustus 2016

Tirani Demokrasi

Banyakku, tirani minoritas bagiku
Sedikitku, penjara mayoritas untukku
Banyak atau sedikit
Aku tetap terdzalimi
Karena faktanya
Tirani demokrasi berlaku
Tatkala hukum Tuhan
Terpasung dalam kepongahan insan

(Ary H. - Kadipaten , 28 Syawal 1437 H)

Maafkan Aku Sahabat!

“Sudahlah Di, jangan kau campuri lagi urusanku!” Teriak orang yang tetiba marah di seberang telepon.
“Aku sudah bosan dengan ceramahmu!” Lanjutnya. Suara telepon pun berakhir dengan nada tuut.
Didi hanya bisa ternganga dengan HP masih di genggaman. Ucapan salamnya pun tercekat hanya sampai di tenggorokan, dengan mulut menganga. Akhirnya, ia pun menarik napas dalam-dalam, kemudian bergumam, “Astaghfirullah!” hanya lafadz ini yang membuatnya lebih tenang.
Untuk ke sekian kalinya Didi menelpon sobatnya di Jakarta, Kamil namanya. Sobat SMA-nya, seorang anak kampung yang lugu dan bersahaja. Namun Didi tak menyangka jika ia menjadi sangat berbeda. Meskipun pendiam, Kamil cukup cerdas dan senang membaca. Tak kenal topik apapun, hampir setiap buku baru di perpus dilahapnya sampai habis. Ada untungnya buat Didi, setelah sering bersama Kamil, ia pun menjadi ketularan hobi membaca. Biasanya tukang baca itu kacamatanya tebal, tapi rumus itu sepertinya tidak berlaku buat Kamil. Matanya normal-normal saja. Mungkin ketika kecilnya, sobatnya tersebut sering makan wortel atau vitamin A dari Posyandu, pikir Didi. Semasa di SMA dulu, mereka sering bareng dalam kegiatan OSIS.
Bagi Didi, Kamil sudah seperti saudaranya. Jika sedang libur sekolah, ia sering menginap di rumah Kamil. Oleh karena itu, keluarga Kamil pun sudah sangat mengenal Didi. Begitupun sebaliknya. Curhat-curhatan, sudah biasa bagi mereka. Traktir-traktiran juga. Mereka berdua tak pernah itung-itungan dalam masalah uang. Siapa yang lagi tebel dompetnya, ia-lah yang nraktir. Yang paling sial itu kalau keduanya sedang bokek, terpaksa puasa deh.
Pernah juga mereka dipanggil Guru Geografi, gara-gara hasil ulangannya sama persis. Semua gara-gara Didi lupa jadwal ulangan. Karena tidak belajar, ia pun akhirnya dibantu Kamil secara tidak jujur, alias nyontek. Hasilnya bisa diduga, 30 soal pilihan ganda dan 5 soal essay isinya persis sama. Duh, benar-benar pengalaman yang sangat memalukan. Sejak kejadian itu, mereka pun kapok untuk saling bantu contek-contekan.
Mereka pun pernah dipuji-puji Guru Fisika di depan kelas para juniornya. Bukan hanya karena kekompakan mereka dalam mengerjakan praktikum fisika. Tetapi, hanya Didi yang bisa memotivasi Kamil untuk ikut ajang murid berprestasi se-Tasikmalaya. Kamil yang agak kurang percaya diri, akhirnya percaya diri dan mau ikut ajang tersebut. Kamil pun akhirnya mendapatkan posisi ke-3 terbaik di antara para siswa teladan SMA se-Tasikmalaya. Pokoknya, di situ ada Didi, di situlah ada Kamil. Kadang terlintas juga di pikiran Didi, kalau ia dan Kamil saat ini masih SMA, bisa-bisa mereka berdua dituduh aktifis Gay. Iiih, ngeri deh. Na’udzubillahi min dzalik.
Setelah lulus SMA, mereka melanjutkan ke perguruan tinggi pilihan masing-masing. Kamil melanjutkan kuliahnya di salah satu kampus ternama di Jakarta, adapun Didi melanjutkan studinya di Jogjakarta. Namun, kedua sobat ini tetap sering berkomunikasi via sms dan telepon. Mereka juga kadang saling mengirim makanan. Pernah tuh Didi mengirim bakpia via paket. Untung saja ketika sampai di Jakarta, kondisinya masih layak untuk dimakan.
Perselisihan antara Didi dan Kamil terjadi setahun belakangan ini. Tepatnya di pertengahan semester ketiga kuliah mereka. Didi memang merasakan ada sesuatu yang berbeda dari kelakuan Kamil, terutama ketika mereka bertemu di kampung pada libur panjang lebaran kemarin. Kamil yang terkenal pendiam itu, kini menjadi banyak bicara dan bercerita. Ia terlihat sangat pede.
“Aku sekarang beda kan, Di?” tanyanya kepada Didi.
Didi agak bingung menjawabnya. Karena, ada sesuatu di pikirannya yang ingin sekali ia tanyakan kepada sobatnya. Akan tetapi, ia bingung memilih kata-kata yang pas. Ia tak mau reuninya itu berbuah perselisihan hanya karena ia salah ngomong. Belum sempat Didi menjawab, Kamil berkata lagi.
“Terus terang saja Di, selama setahun ini, aku merasa sangat bebas.” Jelas Kamil, seraya menghempaskan kepalan kedua tangannya ke samping kanan dan kiri.
“Sekarang, aku  merasa terbebas dari doktrin-doktrin yang selama ini mengekangku, aku jauh lebih percaya diri,” ucap Kamil mantap.
Didi pun mendengarkan seluruh cerita Kamil tentang kisahnya selama di Jakarta. Mulai dari pertemuan serta pergaulannya dengan para aktifis senior di kampusnya. Kamil pun banyak bercerita tentang buku-buku asing yang dibacanya. Terus terang, di satu sisi Didi kagum dengan perubahan sikap Kamil. Namun, di sisi yang lain ia kok merasa ada yang tidak beres dengan sobatnya tersebut. Terutama, ketika Didi bertanya tentang shalat berjamaah. Dari sejak kedatangannya di pekan terakhir Ramadhan sampai malam itu, yakni malam ke-4 bulan Syawal, ia tak pernah melihat Kamil berjamaah di masjid.
“Selama di sini, aku kok belum pernah melihatmu berjamaah di masjid ya  Mil?” tanya Didi penasaran.
“Itu kan urusan pribadi masing-masing, Di. Kau tak perlu lah bertanya tentang itu padaku,” jawab Kamil dengan santai seperti tidak ada masalah.
“Emangnya, kalau rajin sholat pasti masuk surga ya?” Tanya Kamil sambil menepuk bahu kiri Didi.
Jantung Didi terasa berhenti sejenak, ia bagaikan mendengar suara petir menggelegar di siang hari, mulutnya tercekat. Dahinya pun berkerut. Ia sangat kaget, ada apa dengan sobatnya? Padahal, Kamil yang ia kenal selama ini adalah pemuda yang sangat rajin ke masjid. Didi pun memutar otak, di benaknya berseliweran berbagai kata untuk disusunnya. Ia ingin memilih kalimat yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan sobatnya tersebut.
Aku kok merasa aneh dengan pertanyaanmu Mil,” jawab Didi kemudian.
Kamu kan tahu sendiri kalau sholat itu merupakan perintah Allah Swt. Ketika kita melaksanakan perintah Allah Swt, Allah tentu ridlo kepada kita dan ganjaran yang Allah janjikan untuk orang yang Ia ridloi adalah surga-Nya,” jelas Didi yang mencoba menerangkan sekemampuannya.
“Nah, itulah masalahnya Di. Berarti, yang penting Tuhan ridlo kepada kita kan?” tukas Kamil.
“Banyak sekali jalan yang bisa kita pilih agar Tuhan ridlo kepada kita. Yang penting, kita bermanfaat untuk orang banyak,” jelas Kamil.  
Astaghfirullah, Mil. Berarti menurutmu sholat lima waktu sudah kau anggap tak penting?” Tanya Didi dengan nada keheranan.
“Sudahlah Di, ilmu agamamu masih doktrinan para orang tua. Kamu tidak akan mengerti, ilmumu belum nyampe” Jawab Kamil. Ia terkesan ingin berusaha menyudahi perbincangan.
Didi tertegun penuh tanya. Ia tak habis pikir, apa yang telah mengubah isi pikiran sobatnya. Malam itu, Didi terus mengajak Kamil untuk berbincang-bincang hingga larut malam. Terungkaplah berbagai pemikiran Kamil yang menurutnya sangat nyeleneh. Menurut Kamil, kewajiban sholat itu intinya hanyalah do’a. Ketika adzan berkumandang, maka cukup berdo’a saja, hal itu sudah dapat memenuhi seruan Tuhan.
Kamil menjelaskan bahwa yang penting bagi manusia adalah percaya kepada Tuhan, mereka tak perlu ribet dengan doktrin aturan Tuhan. Tuhan telah menciptakan manusia dengan akalnya, manusia bisa mengatur dirinya sendiri. Kamil pun menegaskan bahwa doktrin aturan Tuhan inilah yang membuat umat Islam mundur dan terbelakang. Ia contohkan bagaimana negara-negara Barat maju dan memimpin dunia, semuanya karena mereka meletakkan aturan agama pada porsinya, yakni pada aturan privat (pribadi) semata. Sehingga bagi Kamil, untuk urusan ritual serahkan saja kepada individu masing-masing.
Malam itu, Didi hanya bisa mendengarkan secara seksama. Ia tak bisa berkomentar. Ia tahu bahwa ada yang salah dengan pemikiran sobatnya, tetapi ia bingung di mana letak kesalahannya. Semua ide dan beberapa istilah yang disampaikan sobatnya tersebut banyak yang terasa asing baginya. Bahkan bukan hanya dia. Kakaknya Kamil pun merasakan hal yang sama. Mereka sudah berusaha mendiskusikan dengan ajengan di kampungnya. Tetapi, tidak menemukan penjelasan yang memuaskan. Akhirnya, semua tanda tanya besar itu ia bawa hingga ke perantauannya, Yogyakarta.
Allah Swt Sang Maha Pencipta, Ia Maha Mengetahui atas kebingungan hamba-Nya. Skenario-Nya adalah skenario yang terbaik. Didi yang terdampar dalam kebingungan karena pertanyaan Sang Sobat, Alhamdulillah dipertemukan dengan Mas Tono. Didi bertemu dengannya di Jogjakarta. Beliau adalah salah satu aktifis senior di kampusnya. Ketika itu, Didi sedang duduk di lobi sayap timur kampusnya. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa mendekatinya, ia mengajaknya berkenalan dan berbincang-bincang. Itulah Mas Tono, orangnya sangat supel dan enak diajak bicara. Setelah pertemuan itu, Mas Tono sering mengajaknya ke Pengajian Sabtu pagi. Tetapi, Didi tak pernah bisa hadir karena bentrok dengan jadwal kuliahnya. Namun Mas Tono tak pernah menyerah, hingga pada suatu saat Mas Tono menanyakan sesuatu hal yang membuat Didi sangat terkesan. Pertanyaan itu sebetulnya pernah ia dapati di sekolahnya, tetapi tak pernah seserius itu. Bagi Didi, pertanyaan tersebut sebetulnya pertanyaan yang terkesan teoritis, tetapi ketika Mas Tono yang menanyakannya, kok menjadi lain rasanya. 
“Di, kalau menurut kamu, kita hidup di dunia ini untuk apa sih?” Tanya Mas Tono setelah mengajak Didi bersalaman, serta menanyakan kabar serta perkuliahannya.
Didi tersenyum, kemudian mencoba menjawab sebagaimana yang selama ini ia ketahui.
“Ya, setahu saya untuk beribadah Mas,” jawab Didi singkat.
“Terus, kalau hidup itu untuk beribadah, berarti kamu sholat, zakat dan berdo’a terus-menerus ya?” Tanya Mas Tono lebih lanjut.
 “Ya enggak lah Mas,” Didi tersenyum lebar.
“Masak ibadah terus,” lanjut Didi. Sejenak ia pun sedikit mengerutkan dahi atas jawaban yang telah ia berikan. Didi seolah merasa ada yang tidak konsisten dengan jawabannya.
“Tadi kan kamu bilang hidup untuk ibadah tapi kamu bilang masak ibadah terus?” Tanya Mas Toni.
“Iya ya mas? Terus Aku salah jawab berarti Mas?” Didi tersenyum dalam kebingungan. Tangan kanannya menopang dagu yang sebenarnya tidak akan jatuh. Bola hitam matanya pun mengarah ke langit-langit sayap timur, kemudian ia pun sesekali melirik ke arah kerumunan mahasiswa yang sedang membaca koran. Pertanda ia mulai berpikir serius.
Dari perbincangan itulah kemudian Mas Toni menjelaskan tentang bagaimana kita mesti memaknai hidup. Pengalaman tersebut sangat berkesan baginya. Didi seakan kembali ke titik nol hidupnya. Ia semakin tahu secara jelas tentang apa yang penting dalam hiddupnya. Bahkan, setelah itu perbincangan itu Didi melobi dosennya untuk pindah kelas mata kuliah. Semua itu ia lakukan supaya bisa mengikuti Pengajian Sabtu Pagi di musholla kampusnya.
Dari pengajian rutin mingguan inilah Didi mendapatkan banyak pemahaman keislaman. Islam yang ia kenal sebagai ajaran ritual semata, ternyata jauh lebih luas dari itu. Islam tidak hanya mengatur urusan ritual atau hubungan manusia dengan Penciptanya semata. Tetapi, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yang tercakup dalam masalah pakaian, makanan dan akhlaq. Islam pun mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia yang lain yang tercakup dalam bidang ekonomi, sosial pergaulan, budaya, politik, pendidikan, keamanan sampai sanksi bagi para pelaku kejahatan.
Melalui pengajian rutin ini pula Didi mendapatkan jawaban atas kegundahannya selama ini. Kegundahan karena pertanyaan sobatnya, Kamil. Ketika salah seorang pengisi Pengajian Sabtu Pagi, yakni Ust. Burhan, menjelaskan tentang tiga ideologi (pandangan hidup) yang manggung di dunia. Tiga ideologi itu adalah Islam, sekulerisme dan sosialisme. Memang dua di antara tiga istilah itu sangat asing baginya. Tetapi, semua itu dijelaskan Ust. Burhan secara rinci, dari mulai akar pemikirannya hingga daun pemikiran yang tumbuh dari ketiganya. Dari sanalah Didi menyadari bahwa sobatnya sudah terkontaminasi pemikiran liberal, ide kebebasan yang terlahir dari pandangan hidup sekulerisme. Sekulerisme telah memisahkan agama dari kehidupan, wajarlah jika ia meniadakan peran agama dalam kehidupan. Agama dianggap sebagai doktrin-doktrin berbahaya yang menghambat peradaban manusia. Ia pun menjadi tahu, kenapa negara Barat bisa bangkit setelah meninggalkan agamanya.
Didi merasa punya amunisi untuk menyadarkan Kamil. Sejak itulah ia rajin menelpon sobatnya. Ia ingin mengajak Sang Sobat untuk kembali ke dalam pemikiran Islam yang benar dan utuh. Ia ingin menyadarkan sobatnya dari keterkaguman yang membabi buta terhadap pandangan hidup Barat yang rusak dan merusak. Sampai-sampai sobatnya berani menyepelekan shalat lima waktu, serta menyepelekan ketaatan terhadap aturan Allah Swt, dengan dalih kehebatan akal manusia.
Didi sudah mencoba berbagai cara. Bahkan, ia berencana untuk ke Jakarta pada libur semester ganjil ini. Lumayan ada waktu dua minggu untuk berkunjung kepada sobatnya.
“Mil, liburan semester ini aku berkunjung ke tempatmu ya?” Tanya Didi melalui telepon selulernya.
“Boleh, mau apa Di?” Tanya Kamil kembali.
“Tumben kamu ga mampir ke Tasik, malah langsung ke Jakarta?” Lanjut Kamil. Memang biasanya Didi memanfaatkan libur semester untuk pulang ke kampungnya di Tasikmalaya.
“Engga apa-apa Mil, aku ingin ketemu kamu saja,” jawab Didi.
“Tapi, aku ga mau dengar ceramahmu ya” Ucap Kamil dengan ketus. Ia seperti sudah bisa menangkap maksud kedatangan Didi ke Jakarta.
Didi terdiam, dalam hatinya ia hanya bisa beristighfar dan berdo’a kepada Allah Swt.
“Memangnya kenapa, Mil?” Tanya Didi kemudian.
“Kita ambil jalan masing-masing saja. Bukan kamu saja yang punya jalan ke Sorga,” jawab Kamil dengan nada mulai meninggi.
“Astaghfirullah Mil, aku sama sekali tidak mengklaim bahwa hanya aku yang akan masuk sorga,” jelas Didi.
“Aku hanya ingin mengingatkanmu, pemahamanmu sudah terlalu jauh menyimpang. Sholat lima waktu saja kamu sepelekan. Bagaimana dengan perintah Allah Swt yang lainnya?” Didi mencoba mengingatkan sobatnya.
“Sholat saja terus yang kamu bahas. Kan sudah aku jelaskan tentang bagaimana aku memaknai sholat. Berdo’a saja, cukup,” jawab Kamil.
“Tidak Mil, itu pemahaman yang salah. Perintah Shalat di dalam Al Quran harus dijelaskan dengan hadits Rasulullah Saw,” jelas Didi.
“Beliau bersabda :”Shollu kama roaitumuni usholli”, yang artinya sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat,” lanjut Didi mengutip salah satu hadits.
“Itu kan menurutmu, sah-sah saja kan jika aku punya pemahaman yang lain?” Kamil malah balik bertanya.
“Ga boleh Mil, dalam hal ini tidak boleh ada perbedaan pendapat. Akal kita harus tunduk kepada nash,” tegas Didi.
Entah ke sekian puluh kalinya, Didi mengingatkan Kamil tentang keterbatasan akal manusia, juga tentang pentingnya memaknai hidup. Sehebat apapun manusia, ia tetap punya banyak keterbatasan. Jangankan untuk membuat aturan yang terbaik untuknya, hanya sekedar untuk menyadari kedip mata selama kita bicara ditelpon saja, kita tidak bisa. Mencegah rambut yang memutih atau rontok saja manusia takkan pernah bisa. Karena itulah kita tak boleh takabbur dan sombong. Seperti Fir’aun yang hanya karena pintar, berkuasa dan berharta, lalu ia menyepelekan Sang Pencipta. Demikianlah Didi selalu mengingatkan.
Diskusi via telepon inilah yang membuat Kamil marah, hingga berujung pada penutupan telepon secara sepihak oleh Kamil, sebagaimana yang diceritakan pada awal kisah ini.
-------------------
Didi terus menatap langit-langit kostannya yang putih bersih. Sesekali, ia memalingkan tatapannya ke arah photonya bersama Kamil saat masih SMA dulu. Kamil sobatnya tercinta, kini telah terjangkit virus pemikiran liberal sekuler. Satu tahun di Jakarta, pemikiran Kamil langsung berubah. Didi tak habis pikir, dengan siapakah Kamil bergaul. Jika ingat hal tersebut, Didi merasa jauh lebih beruntung karena bertemu dengan Mas Toni. Selain banyak mengenal pemikiran Islam, ia pun menjadi punya kepercayaan diri untuk menyadarkan sobatnya. Pikirannya terus melayang, ia sangat khawatir bila ada tutur katanya yang kurang pas terhadap Kamil. Sehingga membuat Kamil tersinggung, marah serta menjauh darinya.
Di tengah perenungannya itu, sesaat kemudian telepon genggamnya berbunyi. Ia bahagia, karena tertulis nama dan photo Kamil di telepon genggamnya.
“Alhamdulillah, Kamil sudah tidak marah lagi padaku,” Ucapnya. Wajah Didi pun langsung berubah sumringah, bibirnya tersenyum lebar. Ia meraih telpon genggamnya yang tergeletak di sudut kasur busanya yang sudah lepet.
“Assalamu’alaikum, Mil!” Sambut Didi.
Entah saking senangnya, belum sempat lawan bicaranya menjawab. Didi langsung memberondongnya dengan pertanyaan lanjutan. 
“Aku sangat senang sekali kamu nelpon kembali, sudah tidak marah sama aku kan? Maafkan aku ya Mil jika ada tutur kataku yang kurang berkenan” lanjut Didi dengan maksud mencairkan suasana. Karena ia sangat berharap sobatnya mau menerimanya berkunjung ke Jakarta.
Mas Toni-lah yang menyarankan Didi supaya langsung menemui sobatnya ke Jakarta. Menurutnya, diskusi secara langsung  bisa lebih mencairkan suasana. Mimik muka kita yang ceria dan santai bisa membuat lawan bicara pun lebih terbuka. Berbeda jika kita berdiskusi hanya via sms atau telepon semata.
“Hallo, hallo Mil!” Didi agak berteriak karena ia belum dapat mendengar suara Kamil, hanya suara gaduh kendaraan yang ia dengar.
Tak lama kemudian terdengar jawaban dari seberang.
“Hallo, ini Saudara Didi ya?” Samar-samar terdengar suara dari seberang, tetapi jelas itu bukan suara Kamil.
“Oh iya Pak, saya Didi.” Didi menjawab dengan nada suara yang meninggi, khawatir orang di seberangnya tidak mendengar karena bisingnya suara kendaraan.
“Anda saudaranya Kamil?” Tanya orang tersebut.
“Bukan pak, saya sobatnya. Bapak siapa ya? Kok nelpon dengan HP sobat saya?” Tanya Didi penasaran.
“Sebentar ya, saya ke pinggir dulu supaya tidak terlalu gaduh,” pinta orang tersebut.
“Oh iya pak!” Jawab Didi.
Tak lama kemudian suara gaduh kendaraan mulai berkurang.
“Begini Mas Didi. Mohon maaf sebelumnya, saya Santoso, saya Polantas yang sedang bertugas. Sobat Anda mengalami kecelakaan dan harus segera dilarikan ke Rumah Sakit. Kondisinya koma” Jelasnya.
Didi langsung lemas. Wajah cerianya langsung berubah sayu. Tangannya yang setadi semangat menyambut telepon dari sobatnya langsung bergetar dan lemas. Ia langsung terduduk di sudut kamar, menahan diri dari beratnya berita yang ia hadapi. Tak lama kemudian ia pun langsung menghubungi orang tuanya dan orang tua Kamil.
--------------------------------------------
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Bulir-bulir air mata tak terbendung terus mengalir di sudut mata Didi. Hidung yang memerah tak henti berisak menahan kesedihan. Sobat yang ia cintai pergi begitu cepat. Matanya menatap tumpukan tanah bertabur bunga-bunga yang masih basah. Pinggirannya dipigura tumpukan batu yang berjejer rapi.
Didi teringat cerita para saksi di lokasi kejadian. Kata mereka, petang itu Kamil terlihat menyeberang seperti hendak masuk ke pelataran masjid Jami. Namun, ia kehilangan kendali motornya setelah terkaget dengan mobil yang melaju kencang dari arah Barat. Ia seperti buru-buru menarik gas, inilah yang membuat motornya melaju kencang ke arah selokan di depan masjid. Kepalanya yang hanya memakai kopiah terbentur keras ke sudut tembok drainase. Perdarahan hebat terlihat jelas dari hasil photo rontgen kepalanya, pertanda ada benturan keras di kepala. Kamil mau menyeberang ke masjid? pikirnya. Sumringah hati Didi bila membayangkannya. Di tengah lamunannya itu tiba-tiba pundaknya di tepuk dari arah belakang.
“Di, maafkan Kamil ya? Ia telah sangat merepotkanmu belakangan ini,” kata orang yang menepuk pundaknya.
Didi menoleh pelan, ternyata kak Farid. Ia adalah kakak sulung Kamil yang sangat dekat dengan Didi. Kak Farid-lah yang sering menjadi tempat curhat Didi sejak melihat perubahan sikap dan pemikiran Kamil.
Didi hanya bisa mengangguk dan kemudian memeluk kak Farid.
Kemudian dengan lirih Didi berkata,” iya kak, ini sudah ketentuan Allah Swt, kita mesti ikhlash.”
Kak Farid seperti tidak mau larut dalam kesedihan, pelan-pelan ia melepaskan pelukan tangan Didi. Kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
“Di, di HP ini ada pesan untukmu. Sepertinya Kamil belum sempat mengirimkannya kepadamu.” Ujar  Kak Farid.
“Pesannya tersimpan di draft SMS,” lanjut Kak Farid, yang langsung diiringi tangis dan air mata yang tak tertahankan.
Didi pun meraih HP yang diberikan kak Farid. Kemudian langsung membuka draft SMS. Di urutan paling atas SMS itu tersimpan.
“Di, maafkan aku dan kesonmbonganku. Aku tahu aku salah. Kamu benar Di. Aku telah terbutakan keangkuhan akalku sendiri...”
Didi berhenti sejenak, kalimat pembuka itu semakin membuat air matanya bertambah deras. Ia bagaikan mendengar suara Kamil yang sedang bicara langsung di hadapannya. Sejenak ia terdiam, lalu lanjut membaca draft SMS tersebut.
“...Buku-buku para pemikir Barat yang aku baca selama telah memalingkan keyakinanku. Semua nasihatmu tentang kehidupan dunia, benar adanya. Aku telah tenggelam pada palung kesombongan yang sangat dalam. Aku sangat beruntung masih memiliki teman sepertimu, teman yang selalu mengingatkan aku. Menarikku dari tepi jurang bahaya. Maafkan Aku sobat!”
Itulah isi draft SMS yang belum terkirimkan oleh Kamil kepada Didi. Tersimpan 17 Januari 2004 jam                  16.43 WIB. Sekitar setengah jam setelah perdebatan terakhir antara dia dan Kamil di telepon. Seberapa kuatnya Didi menahan aliran air matanya, sekuat itu pula tekanan kelenjar air matanya bertambah kuat. Ia genggam HP sobatnya tersebut bagaikan ia menggenggam erat tangan Kamil. Ia tekankan HP itu ke pipi kanannya laksana sedang memeluk sobatnya. HP Qwerty silver itu pun bermandikan air mata yang terus turun dari pipi Didi yang tirus. Air mata kesedihan dan bahagia saling bergantian bulir demi bulir. Mulutnya yang sedari tadi terkatup, terbuka pelan-pelan.
“Sama-sama, maafkan aku sobat...” ucap Didi dengan suara lirih. (Ary H.-1/8/2016)