Pelajaran matematika masih berlangsung. Kali ini Bu Sarah tidak
menjelaskan. Beliau sedang membagikan hasil ulangan minggu kemarin. Suasana di
kelas hening, kecuali suara Bu Sarah yang menggema di ruangan. Semua murid
momfokuskan pendengarannya pada suara Bu Sarah. Sebagian menggosok tangannya.
Cemas. Ulangan ini sangat berpegaruh pada Lembaran Hasil Belajar Siswa nanti.
“Alisa.”
Namaku dipanggil. Aku lantas beranjak dari kursi menuju meja paling
depan. Bu Sarah memberikan senyuman begitu aku menerima kertas hasil ulangan.
“Nilaimu bagus. Selamat, ya.”
Aku membalas senyumnya lalu melihat hasil ujian. Sembilan puluh
lima. Aku mengucapkan syukur dalam hati. Nilai yang tidak terlalu buruk.
Kulipat kertas tersebut sampai angka yang menunjukkan nilai tak terlihat.
Kemudian kembali ke tempat aku berasal.
“Berapa nilaimu, Al?” tanya Jean teman sebangkuku. Gadis itu
memang selalu penasaran dengan hasil orang lain. Terutama aku.
“Sekian,” jawabku sekenanya.
Kulihat Jean mendengus sambil memutar bola matanya. Aku memang
tidak pernah memberitahukan hasil ujian. Mereka hanya angka. Apalagi jika
nilainya tinggi. Takut kemampuanku tak sesuai dengan hasil yang didapatkan.
Meskipun aku tidak berbuat curang.
“Emang apa susahnya kasih tahu nilai kamu.” Jean kembali bersuara.
Kepalanya kini ia sandarkan di tangan yang sudah bertumpu pada permukaan meja.
“Emang apa susahnya kamu tidak usah kepo,” balasku. Jean
memalingkan wajahnya. Ia merajuk. Tentu saja itu hanya bercanda. Jean bukan
orang yang mudah marah. Ia hanya sedikit kesal karena aku sebagai teman
sebangku yang sudah bersama-sama selama dua tahun tidak pernah mau berbagi
nilai.
“Aku hanya ingin tahu. Supaya jadi … hm, tolak ukur. Ya, ya,
ya. Semacam itulah.” Kini Jean sudah kembali menghadapku. Namun dengan bibir
yang maju beberapa senti. Gadis itu cemberut.
Aku tersenyum mendengar perkataan Jean. Sebagian orang memang
menganggapnya sebagai tolak ukur. Tapi aku tak pernah percaya. Ada saja yang
menjadikannya pembanding tanpa sebab. Hanya untuk menandakan dirinya hebat lalu
menganggap orang lain rendah. Atau menjadi kecil hati karena nilainya kecil.
Beberapa menjadi menjauh. Lebih parahnya menjadi down. Memang tidak
semua tapi sebagian besar seperti demikian.
Atau memang aku yang berlebihan. Mungkin luka lama menjadi salah
satu penyebab aku seperti ini.
“Tanya yang lain saja sebagai pembanding.”
Jean tidak membalas lagi. Kini ia sibuk mencorat-coret buku
catatannya dan mulai menulis huruf Hangul di sana.
Aku memandang kertas ulanganku yang sudah dilipat menjadi bentuk persegi
skala kecil. Tersenyum jenaka kepadanya. Nilaiku memang besar. Ya, katakanlah
demikian. Aku pun mendapatkannya dengan jujur. Tidak mencotek. Baik dalam
bentuk bertanya pada teman sebelah atau melihat buku.
“Bunda tidak akan marah kalau Alisa mendapatkan nilai kecil karena
jujur. Bunda justru akan marah kalau Alisa menjadi sosok yang curang karena ingin
mendapat nilai tinggi. Bunda akan sangat kecewa. Bagaimana Bunda akan
mempertanggung jawabkannya di akhirat kelak? Mendidik anak menjadi seperti itu?”
Kali ini aku mengembuskan napas pelan. Tak ingin Jean mendengarnya.
Kupejamkan mata kemudian untuk bercengkrama dengan pikiranku sendiri.
Hidup ini bukan soal matematika saja. Bukan juga nilai dari
ulangan. Dunia memang perlu matematika. Tapi bukan semata-mata untuk
mempermasalahkan al-jabar, matriks, atau trigonometri.
Tapi ini tentang rumus sederhananya. Tambah dan kurang.
Tentang menambahkan amal dan mengurasi dosa.
FIN.
Inspiratif!
BalasHapustambahkan konflik dan kayakan tokohnya dengan masalah. InsyaAllah tambah mantaaap!