Senin, 22 Agustus 2016

Tujuh Puluh Satu Tahun Merdeka (Katanya)

Tujuh Puluh Satu Tahun Merdeka (Katanya)

Oleh Eva Ummu Salwa

71 tahun kita merdeka. Jika manusia itu sudah terkategori  lansia. Semakin menua, harusnya kian peka. Tapi apa mau dikata? Kenyataan berbicara. Bangsa ini tak pernah belajar dari kesalahan mereka. Berkali-kali didera penyakit yang sama. Namun tak kunjung jera dan mencari obat patennya. Selalu pakai obat palsu oplosan dari Asing yang membikin euforia.

Tak perlu data statistik atau penelitian ilmiah berlapis-lapis untuk  membuktikan betapa bangsa ini belum merdeka. Belitan penjajah masih membelenggu leher, mematikan potensi bangsa.

Belum lupa kita dengan tragedi penggusuran dimana-mana, reklamasi pulau semena-mena, orang asing bikin kantor kedubes seenaknya, pesawat militer asing lewat tanpa izin pun dimaafkan begitu saja, pulau-pulau disewa dan dijual ke asing atas legalitas negara.

Katanya bangsa ini negara kaya, melimpah dengan sumber daya, kenyataannya rakyat banyak jadi kuli di kampung sendiri. Katanya negeri yang rakyatnya adem tenteram, tapi yang tampak adalah kemiskinan merebak, pengangguran membludak, industri dalam negeri sekarat, kekerasan marak, anak-anak terlantar, TKW  terdampar tanpa perlindungan, dan keluarga retak.

Belum lagi peningkatan hutang negara yang tiada habisnya. Pantas leher ini rasa dicekik. Boro-boro mngulurkan bantuan kemanusiaan pada sesama muslim tertindas di negara lain, pada rakyat sendiri pun pelit. Buktinya biaya pendidikan dan kesehatan mahal. Tarif listrik dan bbm tiap tahun naik. Subsidi gas dan pupuk dicabut. Jalan-jalan dan jembatan rusak bertahun-tahun tak dilirik.

Kok bisa begitu? Miris, miris.

Tampaknya, mental terjajah yang diwariskan sejak zaman penjajahan Belanda telanjur mendekam di benak penguasa kita. Malas mikir, berharap belas kasihan pada dunia. Cari muka menghiba-hiba agar diakui Amerika dan negara-negara satelitnya. Selalu merasa tidak mampu menangani masalah sendiri dan melemparkan tanggungjawab pada rakyat yang dilegitimasi oleh undang-undang bernafas neolib.

Sungguh kita belum merdeka.

Harus ada revolusi mental di benak bangsa ini dalam memaknai merdeka. Perlu reset ulang, dari mental terjajah ke mental merdeka. Namun jelas mesti dipahami dulu, hakikat merdeka itu apa. Tentu harus ada batasan, supaya tidak bias dengan makna kebebasan, bukan?

Dikutip dari web official yuk ngaji, ternyata merdeka hakiki bersumber dari fitrah sejati, bahwa manusia tak layak menghamba pada makhluk, tapi hanya menghamba kepada Al Khaliq.

Dialah Allah SWT, Sebagai Yang Mencipta, tentu Dia-lah yang paling tahu tentang apa yang terbaik dan apa yang terburuk bagi ciptaan-Nya. Tentang pemilikan dan penguasaan Allah terhadap segala sesuatu, Allah berfirman:

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ

Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan. (QS. Ali Imrân/3: 109)
Sebagai milik Allah, maka –suka atau tidak suka—semuanya pasti dikembalikan dan berserah diri kepada Allah SWT:

وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

“…kepada-Nya-lah berserah diri siapa saja yang ada di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali ‘Imrân/3: 83)

وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ “

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”(QS. Hûd/11: 123)

Makna kalimat pasif  "dikembalikan" karena memang semua persoalan tanpa kecuali, pasti akan dikembalikan atau dipaksa untuk kembali kepada Allah Sang Pemilik & Sang Penguasa (al-Malik). Sebab itulah maka  tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali berserah diri secara mutlak kepada Allah SWT.

Atas dasar ini pula, manusia tidak dibenarkan memisahkan aktivitas hidupnya, sebagian untuk Allah dan sebagiannya lagi untuk yang lain. Semuanya harus total dipersembahkan hanya kepada Allah SWT:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Pemelihara alam semesta.“ (QS. Al-An‘âm/6: 162).

Jadi jelas, merdeka hakiki bersumber dari fitrah sejati, bahwa manusia tak layak menghamba pada makhluk, tapi hanya menghamba kepada Al Khaliq Al Mudabbir. Saatnya gelorakan semangat revolusi mental dari terjajah menuju mental merdeka yang hakiki. Agar seluruh persoalan bangsa ini bisa dipecahkan secara mandiri dari sumber yang pasti, yaitu Al-Khaliq.

Merdeka.

Eva, Kandangan, Kalsel, 18 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar