Sabtu, 13 Agustus 2016

Bubble Succes Vs True Succes

Teringat sebuah istilah di dunia ekonomi, Bubble Ekonomi. Sebuah kondisi yang menggambarkan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi bobrok karena hanya ditopang kerapuhan serta ketidakpastian. Sehingga, pertumbuhan ekonominya ibarat seseorang yang meniup bubble gum (permen karet), terus mengembang sampai batas tertentu, lalu meletus seketika.
Bila diukur dengan materi dan jabatan yang dimiliki, tidak sedikit orang yang terkategori sukses di tengah masyarakat. Bahkan kita melihatnya dengan penuh “Wah!”. Namun banyak fakta membuktikan, kesuksesan tersebut pun bisa hanya menjadi gelembung semata. Kesuksesan yang mengandung potensi kehancuran.
Kita mengenal para selebriti seperti Michael Jackson, Marlyn Monroe, Whitney Houstan serta sederet nama tenar lainnya. Dibalik ketenaran dan kekayaannya, hidup mereka berujung pada depresi yang berat. Atau kalangan pebisnis seperti Allen Stanford -pimpinan Stanford Financial-, Bjorgolfur –CEO West Ham United FC, sekaligus orang terkaya di Islandia- serta Alberto Vilar –Investor Amerika yang terkenal dermawan, hidup mereka berujung hukuman karena tindakan kriminal yang dilakukan. Atau kalangan ilmuwan seperti Alan Turing –bapak ilmu komputer modern-, Edwin Armstrong –penemu radio FM-, serta Hans Berger –penemu EEG- serta masih banyak yang lainnya. Hidup mereka berujung pada stress dan bunuh diri. Mereka adalah orang-orang yang tidak betah dengan kesuksesannya. Sebuah bubble succes.
Kaum muslim juga mengenal para penguasa seperti Fir’aun serta Namruz, kekuasaan mereka yang sangat besar hanya berujung pada kebinasaan. Atau kita juga pernah membaca kisah Tsa’labah, yang menjadi lalai ibadah setelah hartanya berlimpah. Tentu, kesuksesan tidak hanya terukur dengan ketenaran, ilmu, harta serta jabatan semata. Bila hanya materi yang dijadikan pengukur kesuksesan, hanya akan mengantarkan manusia pada Bubble Succes.
Tidak menjadikan materi semata sebagai pengukur kesuksesan bukan berarti menafikan kebutuhan manusia terhadapnya. Untuk meraih keseimbangan hidup, nilai materi tetap harus diraih sebagaimana nilai-nilai lainnya, seperti nilai akhlak (seperti kejujuran), nilai kemanusiaan (seperti membantu orang lain) serta nilai spiritual (seperti ibadah). Karena itulah, Islam mewajibkan bekerja dan mencari nafkah.
Namun adakalanya usaha dan hasil tidak selalu berbanding lurus, di sinilah kita penting untuk memahami konsep True Succes (Kesuksesan Hakiki). Sebuah kesuksesan yang posisinya lebih tinggi di atas kesuksesan kita dalam meraih nilai apapun dalam hidup kita.
True Succes (kesuksesan hakiki) dapat diraih tatkala manusia menyertakan ruh dalam peraihan nilai-nilai hidupnya. Ruh berupa kesadaran akan dirinya sebagai makhluk Pencipta. Kesadaran untuk menyertakan ketundukan atas setiap ketetapan serta aturan-Nya. Kesuksesan hakiki akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan dan ketenangan batin. Selalu bersyukur dan semakin dekat dengan Sang Pencipta. Ia akan menjadi pembawa kemaslahatan bagi setiap insan.
Mungkin saat ini kita akan sulit membayangkan, ada seorang yang kehilangan harta, kemewahan, keluarga serta kedudukan. Kemudian ia menjadi seorang yang sangat miskin, hingga sehari makan dan beberapa hari menahan lapar. Bahkan di akhir hayatnya, ia hanya berpakaian kasar. Sehingga ketika hendak dikebumikan, bagian kakinya hanya ditutup oleh rerumputan ikhdzir. Akan tetapi, ia menjadi orang yang sangat sukses dalam hidupnya. Dialah Mush’ab Bin Umair r.a., duta Islam pertama yang berperan dalam mengislamkan Madinah.
Ternyata True Succes bukan hanya diraih oleh orang yang kekurangan harta, ia juga dapat diraih saudagar kaya. Seorang saudagar yang pernah menyumbangkan 700 unta beserta muatannya yang penuh dagangan, 500 kuda serta 1500 kendaraan penuh muatan untuk kepentingan jihad di jalan Allah. Pun menjual tanahnya seharga 40 ribu Dinar (sekitar 98,6 milyar rupiah) untuk dibagikan kepada ummul mukminin dan fakir miskin. Dialah Abdurrahman bin Auf r.a.
Saudagar kaya yang pernah menangis ketika hendak menyantap makanan, selera makannya hilang tiba-tiba seraya berkata : “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai syahid. Ia jauh lebib baik dariku. Ia dikafani dengan selembar kain. Jika ditutupkan ke kepalanya, kakinya kelihatan. Jika ditutupkan ke kakinya, kepalanya kelihatan. Hamzah juga telah gugur sebagai syahid. Dia jauh lebih baik dariku. Ia tidak memiliki kafan kecuali selembar kain. Namun sekarang, kita diberi kekayaan dunia begini berlimpah. Aku khawatir, ini adalah pahala kebaikan yang disegerakan.” Masya Allah! Ia benar-benar saudagar super kaya yang selalu sadar akan posisinya sebagai makhluk Allah Swt.
Kesuksesan hakiki pun telah diraih oleh seorang penguasa. Seorang kepala daerah yang diberi tunjangan senilai 4000-6000 dinar dalam setahun (821 juta s.d. 1,2 milyar rupiah perbulan), tetapi ia tak mengambilnya sedikit pun bahkan membagikannya kembali. Ia menghidupi dirinya dengan menganyam keranjang dari daun kurma. Ia membeli daun kurma seharga satu dirham, dibuat keranjang lalu dijual seharga tiga dirham. Satu dirham digunakan sebagai modal, satu dirham untuk nafkah keluarga dan satu dirham lagi untuk sedekah. Dialah Salman Al Farisi. Putra bangsawan Persia yang rela meninggalkan semua kemewahannya, lalu berjuang mencari kebenaran hakiki dari satu guru ke guru yang lain, hingga akhirnya ia dipertemukan dengan Islam.
Para bangsawan pun tak kalah ketinggalan, sejarah mencatat seorang bangsawan yang mampu meraih True Succes dalam hidupnya. Dialah Usaid Bin Hudhair r.a. Bangsawan pembesar yang penuh kezuhudan. Egonya tertundukkan iman dan ketaatannya kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Dia menjadi seorang penengah di tengah perdebatan sengit para sahabat di Saqifah Bani Sa’adah. Pasca wafat Rasulullah Saw, sekelompok Anshar yang diketuai Sa’d Bin Ubadah menuntut bahwa merekalah yang berhak menduduki kursi khalifah.
Di tengah perdebatan itu, Usiad Bin Hudhair berkata : “Kalian tahu bahwa Rasulullah berasal dari kaum Muhajirin. Karena itu, Khalifah yang menggantikannya juga semestinya dari Kaum Muhajirin. Kami Kaum Anshar adalah para pembela Rasulullah. Karena itu, hari ini kami juga harus menjadi pembela Khalifah yang menggantikan Rasulullah.” Hingga ketika Usaid Bin Hudlair wafat, para pengantar jenazah mengulang-ulang sabda Rasulullah Saw, “sebaik-baik laki-laki adalah Usaid bin Hudhair.”
Begitu pula kesuksesan hakiki dapat diraih oleh seorang prajurit, mantan budak belian yang tidak jelas siapa ayahnya. Sehingga namanya hanya dikaitkan dengan orang yang telah memerdekakannya, dialah Salim Maula Abu Hudzaifah (Salim mantan budak Abu Hudzaifah). Ketaqwaan dan keshalihannya telah mengangkatnya menjadi tokoh Islam terkemuka. Seorang prajurit yang berani menegur tegas panglima besar Khalid  Bin Walid, ketika ia menyelisihi perintah Rasul Saw. Saat Rasulullah mengirim beberapa pasukan kecil untuk berdakwah (bukan untuk berperang) ke kampung-kampung Arab di sekeliling Mekkah, terjadi insiden yang menyebabkan penggunaan senjata dan peperangan. Salim terus menerus mengingatkan Khalid, bahkan tiada henti-hentinya memohon ampun kepada Allah Swt, “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari perbuatan yang dilakukan Khalid.”
Pilihan sikapnya yang tegas untuk mengingatkan Khalid ternyata tepat. Sikap Salim inilah yang meredakan kemarahan Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw bertanya mengenai  insiden peperangan tersebut, “Adakah yang menentangnya (menentang Khalid, pen.)?”. Kemudian para sahabat menjawab, “Ada, Salim Maula Abu Hudzaifah.” Sungguh ia seorang rakyat, prajurit serta mantan budak belian yang sadar akan posisinya, bahwa kemuliaan seseorang hanyalah terletak pada ketaqwaannya.
Sebelum meninggal dunia, Umar r.a. pernah berpesan, “Seandainya Salim (Maula Abu Hudzaifah, pen.) masih hidup, pasti aku serahkan urusan Khalifah kepadanya setelah kematianku.”
Itulah sedikit kisah True Succes yang telah diraih manusia, siapa pun dia serta di manapun posisi dan kedudukannya. Mereka adalah para manusia mulia yang tidak lain adalah sahabat dan binaan Rasulullah Saw. Mereka begitu mengagumkan hingga terlihat laksana manusia fiktif dalam dongeng sebelum tidur. Seolah tak pernah ada manusia-manusia seperti itu. Para manusia yang mampu meraih berbagai nilai dalam hidupnya dengan tetap membawa ruhnya, yakni kesadaran akan dirinya sebagai makhluk Allah Swt. Semoga kita dapat mengikuti jejak-jejak mereka, menjadi orang-orang sukses meraih berbagai nilai dalam kehidupan, seraya diiringi kesadaran bahwa kita adalah hamba Allah Swt. Aamiiin. (Ary H. – Penulis di Akademi Menulis Kreatif)

Daftar Bacaan :
  •  The Model. Nopriadi Hermani, Ph.D.
  • Rijalun Haula Rasulillah (ed. terj.). Khalid Muhammad Khalid

1 komentar:

  1. wah setuju banget kalo true succes bukan diukur dari materi yg melimpah....jadi nambah ilmu nii
    hatur nuhun.... :)

    BalasHapus