Teringat sebuah istilah di
dunia ekonomi, Bubble Ekonomi. Sebuah kondisi yang menggambarkan
kemajuan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi bobrok karena hanya
ditopang kerapuhan serta ketidakpastian. Sehingga, pertumbuhan ekonominya
ibarat seseorang yang meniup bubble gum (permen karet), terus mengembang
sampai batas tertentu, lalu meletus seketika.
Bila diukur dengan materi
dan jabatan yang dimiliki, tidak sedikit orang yang terkategori sukses di
tengah masyarakat. Bahkan kita melihatnya dengan penuh “Wah!”. Namun banyak
fakta membuktikan, kesuksesan tersebut pun bisa hanya menjadi gelembung semata.
Kesuksesan yang mengandung potensi kehancuran.
Kita mengenal para
selebriti seperti Michael Jackson, Marlyn Monroe, Whitney Houstan serta sederet
nama tenar lainnya. Dibalik ketenaran dan kekayaannya, hidup mereka berujung
pada depresi yang berat. Atau kalangan pebisnis seperti Allen Stanford
-pimpinan Stanford Financial-, Bjorgolfur –CEO West Ham United FC, sekaligus
orang terkaya di Islandia- serta Alberto Vilar –Investor Amerika yang terkenal
dermawan, hidup mereka berujung hukuman karena tindakan kriminal yang dilakukan.
Atau kalangan ilmuwan seperti Alan Turing –bapak ilmu komputer modern-, Edwin
Armstrong –penemu radio FM-, serta Hans Berger –penemu EEG- serta masih banyak
yang lainnya. Hidup mereka berujung pada stress dan bunuh diri. Mereka adalah
orang-orang yang tidak betah dengan kesuksesannya. Sebuah bubble succes.
Kaum muslim juga mengenal
para penguasa seperti Fir’aun serta Namruz, kekuasaan mereka yang sangat besar
hanya berujung pada kebinasaan. Atau kita juga pernah membaca kisah Tsa’labah,
yang menjadi lalai ibadah setelah hartanya berlimpah. Tentu, kesuksesan tidak
hanya terukur dengan ketenaran, ilmu, harta serta jabatan semata. Bila hanya
materi yang dijadikan pengukur kesuksesan, hanya akan mengantarkan manusia pada
Bubble Succes.
Tidak menjadikan materi semata
sebagai pengukur kesuksesan bukan berarti menafikan kebutuhan manusia
terhadapnya. Untuk meraih keseimbangan hidup, nilai materi tetap harus diraih
sebagaimana nilai-nilai lainnya, seperti nilai akhlak (seperti kejujuran),
nilai kemanusiaan (seperti membantu orang lain) serta nilai spiritual (seperti
ibadah). Karena itulah, Islam mewajibkan bekerja dan mencari nafkah.
Namun adakalanya usaha
dan hasil tidak selalu berbanding lurus, di sinilah kita penting untuk memahami
konsep True Succes (Kesuksesan Hakiki). Sebuah kesuksesan yang posisinya
lebih tinggi di atas kesuksesan kita dalam meraih nilai apapun dalam hidup
kita.
True Succes (kesuksesan hakiki) dapat diraih
tatkala manusia menyertakan ruh dalam peraihan nilai-nilai hidupnya. Ruh berupa
kesadaran akan dirinya sebagai makhluk Pencipta. Kesadaran untuk menyertakan ketundukan
atas setiap ketetapan serta aturan-Nya. Kesuksesan hakiki akan mengantarkan manusia
pada kebahagiaan dan ketenangan batin. Selalu bersyukur dan semakin dekat
dengan Sang Pencipta. Ia akan menjadi pembawa kemaslahatan bagi setiap insan.
Mungkin saat ini kita
akan sulit membayangkan, ada seorang yang kehilangan harta, kemewahan, keluarga
serta kedudukan. Kemudian ia menjadi seorang yang sangat miskin, hingga sehari
makan dan beberapa hari menahan lapar. Bahkan di akhir hayatnya, ia hanya
berpakaian kasar. Sehingga ketika hendak dikebumikan, bagian kakinya hanya
ditutup oleh rerumputan ikhdzir. Akan tetapi, ia menjadi orang yang
sangat sukses dalam hidupnya. Dialah Mush’ab Bin Umair r.a., duta Islam pertama
yang berperan dalam mengislamkan Madinah.
Ternyata True Succes
bukan hanya diraih oleh orang yang kekurangan harta, ia juga dapat diraih
saudagar kaya. Seorang saudagar yang pernah menyumbangkan 700 unta beserta
muatannya yang penuh dagangan, 500 kuda serta 1500 kendaraan penuh muatan untuk
kepentingan jihad di jalan Allah. Pun menjual tanahnya seharga 40 ribu Dinar
(sekitar 98,6 milyar rupiah) untuk dibagikan kepada ummul mukminin dan fakir
miskin. Dialah Abdurrahman bin Auf r.a.
Saudagar kaya yang pernah
menangis ketika hendak menyantap makanan, selera makannya hilang tiba-tiba seraya
berkata : “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai syahid. Ia jauh lebib baik
dariku. Ia dikafani dengan selembar kain. Jika ditutupkan ke kepalanya, kakinya
kelihatan. Jika ditutupkan ke kakinya, kepalanya kelihatan. Hamzah juga telah
gugur sebagai syahid. Dia jauh lebih baik dariku. Ia tidak memiliki kafan
kecuali selembar kain. Namun sekarang, kita diberi kekayaan dunia begini
berlimpah. Aku khawatir, ini adalah pahala kebaikan yang disegerakan.”
Masya Allah! Ia benar-benar saudagar super kaya yang selalu sadar akan
posisinya sebagai makhluk Allah Swt.
Kesuksesan hakiki pun telah
diraih oleh seorang penguasa. Seorang kepala daerah yang diberi tunjangan
senilai 4000-6000 dinar dalam setahun (821 juta s.d. 1,2 milyar rupiah
perbulan), tetapi ia tak mengambilnya sedikit pun bahkan membagikannya kembali.
Ia menghidupi dirinya dengan menganyam keranjang dari daun kurma. Ia membeli
daun kurma seharga satu dirham, dibuat keranjang lalu dijual seharga tiga
dirham. Satu dirham digunakan sebagai modal, satu dirham untuk nafkah keluarga
dan satu dirham lagi untuk sedekah. Dialah Salman Al Farisi. Putra bangsawan
Persia yang rela meninggalkan semua kemewahannya, lalu berjuang mencari
kebenaran hakiki dari satu guru ke guru yang lain, hingga akhirnya ia
dipertemukan dengan Islam.
Para bangsawan pun tak
kalah ketinggalan, sejarah mencatat seorang bangsawan yang mampu meraih True
Succes dalam hidupnya. Dialah Usaid Bin Hudhair r.a. Bangsawan pembesar yang
penuh kezuhudan. Egonya tertundukkan iman dan ketaatannya kepada Allah Swt dan
Rasul-Nya. Dia menjadi seorang penengah di tengah perdebatan sengit para
sahabat di Saqifah Bani Sa’adah. Pasca wafat Rasulullah Saw, sekelompok Anshar
yang diketuai Sa’d Bin Ubadah menuntut bahwa merekalah yang berhak menduduki
kursi khalifah.
Di tengah perdebatan itu,
Usiad Bin Hudhair berkata : “Kalian tahu bahwa Rasulullah berasal dari kaum
Muhajirin. Karena itu, Khalifah yang menggantikannya juga semestinya dari Kaum
Muhajirin. Kami Kaum Anshar adalah para pembela Rasulullah. Karena itu, hari
ini kami juga harus menjadi pembela Khalifah yang menggantikan Rasulullah.”
Hingga ketika Usaid Bin Hudlair wafat, para pengantar jenazah mengulang-ulang
sabda Rasulullah Saw, “sebaik-baik laki-laki adalah Usaid bin Hudhair.”
Begitu pula kesuksesan
hakiki dapat diraih oleh seorang prajurit, mantan budak belian yang tidak jelas
siapa ayahnya. Sehingga namanya hanya dikaitkan dengan orang yang telah
memerdekakannya, dialah Salim Maula Abu Hudzaifah (Salim mantan budak Abu
Hudzaifah). Ketaqwaan dan keshalihannya telah mengangkatnya menjadi tokoh Islam
terkemuka. Seorang prajurit yang berani menegur tegas panglima besar
Khalid Bin Walid, ketika ia menyelisihi
perintah Rasul Saw. Saat Rasulullah mengirim beberapa pasukan kecil untuk
berdakwah (bukan untuk berperang) ke kampung-kampung Arab di sekeliling Mekkah,
terjadi insiden yang menyebabkan penggunaan senjata dan peperangan. Salim terus
menerus mengingatkan Khalid, bahkan tiada henti-hentinya memohon ampun kepada
Allah Swt, “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari perbuatan yang
dilakukan Khalid.”
Pilihan sikapnya yang
tegas untuk mengingatkan Khalid ternyata tepat. Sikap Salim inilah yang
meredakan kemarahan Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw bertanya mengenai insiden peperangan tersebut, “Adakah yang
menentangnya (menentang Khalid, pen.)?”. Kemudian para sahabat menjawab, “Ada,
Salim Maula Abu Hudzaifah.” Sungguh ia seorang rakyat, prajurit serta
mantan budak belian yang sadar akan posisinya, bahwa kemuliaan seseorang hanyalah
terletak pada ketaqwaannya.
Sebelum meninggal dunia,
Umar r.a. pernah berpesan, “Seandainya Salim (Maula Abu Hudzaifah, pen.)
masih hidup, pasti aku serahkan urusan Khalifah kepadanya setelah kematianku.”
Itulah sedikit kisah True
Succes yang telah diraih manusia, siapa pun dia serta di manapun posisi dan
kedudukannya. Mereka adalah para manusia mulia yang tidak lain adalah sahabat
dan binaan Rasulullah Saw. Mereka begitu mengagumkan hingga terlihat laksana manusia
fiktif dalam dongeng sebelum tidur. Seolah tak pernah ada manusia-manusia
seperti itu. Para manusia yang mampu meraih berbagai nilai dalam hidupnya
dengan tetap membawa ruhnya, yakni kesadaran akan dirinya sebagai makhluk Allah
Swt. Semoga kita dapat mengikuti jejak-jejak mereka, menjadi orang-orang sukses
meraih berbagai nilai dalam kehidupan, seraya diiringi kesadaran bahwa kita adalah
hamba Allah Swt. Aamiiin. (Ary
H. – Penulis di Akademi Menulis Kreatif)
Daftar Bacaan :
- The Model. Nopriadi Hermani, Ph.D.
- Rijalun Haula Rasulillah (ed. terj.). Khalid Muhammad Khalid
wah setuju banget kalo true succes bukan diukur dari materi yg melimpah....jadi nambah ilmu nii
BalasHapushatur nuhun.... :)