Kamis, 14 Juli 2016

Menulis; Perjuangan dan Dakwah

Ini pertama kali saya menulis dengan menggunakan laptop axioo jadul yang sudah tersimpan lama di lemari. Ya, daripada terus rebutan netbook acer aspire one dengan anak dan istri, nanti ide-ide saya tidak tercurahkan, alias terpendam saja tanpa ada yang mengetahuinya.

Setelah hampir sepekan tidak menulis, saya berusaha merefresh lagi, dan merenungkan kembali mengenai apa yang menjadi motivasi saya menulis. Dua buah buku yang saya baca selama 4 hari kemarin, mengingatkan saya akan tujuan aktifitas menulis. Buku pertama “Membongkar Aib Seks Bebas & Hedonisme Kaum Selebriti” tulisan Sdra Nurani Soyomukti dan buku kedua “Juara Sepanjang Masa” tulisan sdri Afifah Afra. Apabila kita membaca judulnya saja, dua buku tersebut memang seolah tidak ada hubungannya dengan aktifitas menulis. Apalagi buku yang pertama, di dalamnya syarat dengan pemikiran-pemikiran sosialis marxisme. Sedangkan buku kedua ditulis untuk kalangan remaja, padahal saya kan sudah bapak-bapak. Dua penulis buku tersebut, telah mengingatkan saya bahwa aktifitas menulis adalah aktifitas perjuangan.

Motivasi menulis yang utama bukanlah semata-mata untuk mendapatkan selembar rupiah. Menulis adalah sama dengan aktifitas bicara, namun bedanya bila bicara dilakukan dengan lisan. Sedangkan menulis adalah bicara lewat tulisan. Pernahkah terpikir dalam benak kita, bahwa setiap kali kita berbicara dengan orang, kita berharap mendapatkan rupiah dari apa yang kita bicarakan. Tentu tidak, karena tujuan kita berbicara adalah supaya orang memahami apa yang kita sampaikan. Atau dengan kata lain, bicara adalah aktifitas penyampaian ide atau gagasan. Begitu pula sebetulnya dengan aktifitas menulis. Menulis adalah sebuah penyampaian ide atau gagasan melalui tulisan.

Sebuah tulisan akan menggambarkan apa yang ada dalam pikiran Sang Penulis. Sehingga, sebuah tulisan akan menggambarkan seperti apa penulisnya. Bila ia hanya seorang pendongeng, maka tentunya tulisannya pun seputar dongeng. Begitu pun bila ia seorang aktifis gerakan, tulisannya penuh dengan heroisme perjuangan, baik aktifis sosialis, liberalis maupun Islam.

Perenungan ini telah yang mengantarkan saya pada motivasi awal menekuni dunia menulis. Saya ingin memperjuangkan ide-ide Islam yang saya yakini dan berkontribusi dalam proses penyadaran umat. Saya merenung, ide-ide Sosialis-Marxis saja bisa dicerna oleh umat bila itu dituangkan dalam tulisan. Ia terus awet dalam bentuk bacaan dan tersebar di seluruh penjuru negeri, bahkan dunia. Ditambah lagi bila penulisnya memiliki suatu landasan ideologis. Sehingga kepuasannya terletak pada tersebarnya ide-ide dan pemikirannya di tengah rakyat, lalu rakyat terprovokasi untuk bangkit melawan kapitalisme kaum borjuis. Saya berpikir kembali, mengapa dalam tiga hari ini saya seolah-olah kehilangan motivasi dalam menulis.

Perenungan ini juga telah mengingatkan saya pada bukunya Syaikh Muhammad Ismail yang berjudul Al Fikru Al Islami (Bunga Rampai Pemikiran Islam, ed.terj.). Kurang lebih beliau menegaskan bahwa dorongan aktifitas manusia terdiri dari tiga jenis, yaitu dorongan materi (quwwah madiyah), dorongan moral (quwwah ma'nawiyah) dan dorongan spiritual (quwwah ruhiyah). Dorongan materi akan membuat manusia beraktifitas karena ada sokongan materi, bila sokongan materi tak ada maka aktifitasnya pun melemah. Dorongan moral akan membuat manusia beraktifitas karena adanya pujian manusia, bila pujian itu tak ada maka aktifitasnya pun melempem. Namun dengan dorongan spiritual, manusia akan selalu beraktifitas berdasarkan kesadarannya akan hubungan dengan Allah SWT.  Maka dorongan spiritual-lah yang selayaknya dijadikan sebagai pendorong hakiki dalam beraktifitas. Karena ia tak mengandalkan sokongan materi dan pujian. Ia akan selalu ada selama seorang hamba menyadari bahwa dirinya adalah makhluk Sang Kholik yang harus selalu taat kepadaNya.

Perenungan ini juga telah mengingatkan saya kepada seorang guru sekaligus sahabat di Yogyakarta. Tidak perlu saya menyebutkan namanya, tapi saya berharap semoga beliau membaca tulisan ini. Kata-katanya yang selalu terngiang-ngiang sampai saat ini adalah “Maknailah setiap aktifitas kita! Karena kadang kita terjebak pada rutinitas, akhirnya kita jenuh disebabkan kita lupa apa makna dari aktifitas kita”. Karena itulah memaknai setiap aktifitas, termasuk menulis,  sangatlah penting. Maka ia akan menjaga semangatnya, dan pemaknaan yang paling ideal bagi seorang muslim adalah aktifitas ibadah (penghambaan diri kepada Allah SWT dengan menta’atinya). Sehingga menulis adalah ibadah, menulis adalah aktifitas perjuangan, menulis adalah aktifitas penyadaran dan dakwah.

Terakhir, sekecil apapun kemampuan menulis kita pada awalnya. Semoga kita bisa terus mengasahnya dengan satu motivasi, yaitu dakwah. Sehingga tulisan-tulisan kita bisa menjadi katalisator reaksi penyadaran umat akan ide-ide Islam. Aamiiin. Wallohu a’lamu bishshowwaab.


*) Ditulis oleh Ary Herawan  (tulisan pernah dimuat di www.islampos.com) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar