Ini pertama kali saya menulis
dengan menggunakan laptop axioo jadul yang sudah tersimpan lama di
lemari. Ya, daripada terus rebutan netbook acer aspire one dengan anak dan
istri, nanti ide-ide saya tidak tercurahkan, alias terpendam saja tanpa ada
yang mengetahuinya.
Setelah hampir sepekan tidak
menulis, saya berusaha merefresh lagi, dan merenungkan kembali mengenai apa
yang menjadi motivasi saya menulis. Dua buah buku yang saya baca selama 4 hari
kemarin, mengingatkan saya akan tujuan aktifitas menulis. Buku pertama
“Membongkar Aib Seks Bebas & Hedonisme Kaum Selebriti” tulisan Sdra Nurani
Soyomukti dan buku kedua “Juara Sepanjang Masa” tulisan sdri Afifah Afra.
Apabila kita membaca judulnya saja, dua buku tersebut memang seolah tidak ada
hubungannya dengan aktifitas menulis. Apalagi buku yang pertama, di dalamnya
syarat dengan pemikiran-pemikiran sosialis marxisme. Sedangkan buku kedua
ditulis untuk kalangan remaja, padahal saya kan sudah bapak-bapak. Dua penulis
buku tersebut, telah mengingatkan saya bahwa aktifitas menulis adalah aktifitas
perjuangan.
Motivasi menulis yang utama
bukanlah semata-mata untuk mendapatkan selembar rupiah. Menulis adalah sama
dengan aktifitas bicara, namun bedanya bila bicara dilakukan dengan lisan.
Sedangkan menulis adalah bicara lewat tulisan. Pernahkah terpikir dalam benak
kita, bahwa setiap kali kita berbicara dengan orang, kita berharap mendapatkan
rupiah dari apa yang kita bicarakan. Tentu tidak, karena tujuan kita berbicara
adalah supaya orang memahami apa yang kita sampaikan. Atau dengan kata lain,
bicara adalah aktifitas penyampaian ide atau gagasan. Begitu pula sebetulnya
dengan aktifitas menulis. Menulis adalah sebuah penyampaian ide atau gagasan
melalui tulisan.
Sebuah tulisan akan menggambarkan
apa yang ada dalam pikiran Sang Penulis. Sehingga, sebuah tulisan akan
menggambarkan seperti apa penulisnya. Bila ia hanya seorang pendongeng, maka
tentunya tulisannya pun seputar dongeng. Begitu pun bila ia seorang aktifis
gerakan, tulisannya penuh dengan heroisme perjuangan, baik aktifis sosialis,
liberalis maupun Islam.
Perenungan ini telah yang
mengantarkan saya pada motivasi awal menekuni dunia menulis. Saya ingin
memperjuangkan ide-ide Islam yang saya yakini dan berkontribusi dalam proses
penyadaran umat. Saya merenung, ide-ide Sosialis-Marxis saja bisa dicerna oleh
umat bila itu dituangkan dalam tulisan. Ia terus awet dalam bentuk bacaan dan
tersebar di seluruh penjuru negeri, bahkan dunia. Ditambah lagi bila penulisnya
memiliki suatu landasan ideologis. Sehingga kepuasannya terletak pada
tersebarnya ide-ide dan pemikirannya di tengah rakyat, lalu rakyat terprovokasi
untuk bangkit melawan kapitalisme kaum borjuis. Saya berpikir kembali, mengapa
dalam tiga hari ini saya seolah-olah kehilangan motivasi dalam menulis.
Perenungan ini juga telah
mengingatkan saya pada bukunya Syaikh Muhammad Ismail yang berjudul Al Fikru Al
Islami (Bunga Rampai Pemikiran Islam, ed.terj.). Kurang lebih beliau menegaskan
bahwa dorongan aktifitas manusia terdiri dari tiga jenis, yaitu dorongan materi
(quwwah madiyah), dorongan moral (quwwah ma'nawiyah) dan dorongan spiritual
(quwwah ruhiyah). Dorongan materi akan membuat manusia beraktifitas karena ada
sokongan materi, bila sokongan materi tak ada maka aktifitasnya pun melemah. Dorongan
moral akan membuat manusia beraktifitas karena adanya pujian manusia, bila
pujian itu tak ada maka aktifitasnya pun melempem. Namun dengan dorongan
spiritual, manusia akan selalu beraktifitas berdasarkan kesadarannya akan
hubungan dengan Allah SWT. Maka dorongan
spiritual-lah yang selayaknya dijadikan sebagai pendorong hakiki dalam
beraktifitas. Karena ia tak mengandalkan sokongan materi dan pujian. Ia akan
selalu ada selama seorang hamba menyadari bahwa dirinya adalah makhluk Sang
Kholik yang harus selalu taat kepadaNya.
Perenungan ini juga telah
mengingatkan saya kepada seorang guru sekaligus sahabat di Yogyakarta. Tidak
perlu saya menyebutkan namanya, tapi saya berharap semoga beliau membaca
tulisan ini. Kata-katanya yang selalu terngiang-ngiang sampai saat ini adalah
“Maknailah setiap aktifitas kita! Karena kadang kita terjebak pada rutinitas,
akhirnya kita jenuh disebabkan kita lupa apa makna dari aktifitas kita”. Karena
itulah memaknai setiap aktifitas, termasuk menulis, sangatlah penting. Maka ia akan menjaga
semangatnya, dan pemaknaan yang paling ideal bagi seorang muslim adalah
aktifitas ibadah (penghambaan diri kepada Allah SWT dengan menta’atinya).
Sehingga menulis adalah ibadah, menulis adalah aktifitas perjuangan, menulis
adalah aktifitas penyadaran dan dakwah.
Terakhir, sekecil apapun
kemampuan menulis kita pada awalnya. Semoga kita bisa terus mengasahnya dengan
satu motivasi, yaitu dakwah. Sehingga tulisan-tulisan kita bisa menjadi
katalisator reaksi penyadaran umat akan ide-ide Islam. Aamiiin. Wallohu a’lamu
bishshowwaab.
*) Ditulis oleh Ary
Herawan (tulisan pernah dimuat di www.islampos.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar